Tafsir Maudhu'i



PENCAPAIAN KEBENARAN ILMIAH DENGAN KEPRIBADIAN YANG SEMPURNA
Ilmu Berdimensi Amal, Amal Berasaskan Ilmu

(Tafsir Ayat Tematik Q.S Yunus Ayat 93 Serta Huud Ayat 14 dan 46)



A.    Pendahuluan
Mengerti tentang suatu perkara bukan semata-mata menjadi akhir perjalanan thalabul ilmi seorang muslim. Bahkan, orang yang mempelajari satu ilmu dengan hanya menitikberatkan pada aspek penguasaan materi saja, bukan dalam rangka mengambil hikmah dan manfaatnya, dinegasikan nash sebagai orang yang belum berilmu secara haqiqi. Misalnya keadaan orang yang berilmu (al-‘ulama’) menurut al Quran adalah orang yang memiliki rasa takut (khasyiah) kepada Allah.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ... ﴿فاطر: ٢٨﴾
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Fathir: 28)
Dalam ayat tersebut khasyiah dapat dilihat sebagai ujung keadaan berilmu seseorang yang benar. Dengan kata lain, ia menjadi syarat dan tanda benarnya pengetahuan seseorang. Dalam ayat yang lain Allah juga mengingatkan dengan melarang perbuatan dzalim terhadap ilmu, dalam hal ini mendistorsi ilmu.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿البقرة: ٤٢﴾
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (al Baqarah:42)
Menunjukkan bahwa ilmu hendaknya berfungsi untuk menyingkap tabir kebodohan sehingga mampu mengantarkan manusia kepada keselamatan dari kehancuran. Ilmu harus berfungsi demikian, dengan cara menampilkan apa yang sebenarnya dari ilmu tersebut, bukan tebang pilih mana yang paling cocok dengan hawa nafsunya.
Tentang pentingnya aplikasi ilmu ini, secara lebih tegas, Allah juga menyatakannya dalam surat ash Shaff: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS Al-Shaff: 2-3)
Juga dalam al Baqarah: “Mengapa kalian menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab? Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS Al-Baqarah: 44)
Dalam riwayat Muslim, ditemukan doa yang diajarkan nabi berbunyi “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-MUdari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’ dari amal yang tidak diangkat ke langit (tidak diterima di sisi-MU), dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat keilmuan seseorang melibatkan, bukan saja dalam aspek peningkatan kemampuan/potensi fikriyah badaniyah seseorang, namun juga potensi aqliyah ruhiyahnya. Artinya, pada kondisi yang menuntut kepada keyakinan sepenuhnya terhadap kabar kebenaran yang disampaikannya, maka, meski daya pikir tidak mampu menjangkaunya, tidak berarti boleh ditunda menyakininya. Lebih dari itu, potensi aqliyah seseorang pun kemudian juga dituntut untuk membawa jiwa tunduk terhadap konsekwensi ilmiah dari kebenaran absolut al Quran (melaksanakan ayat perintah atau menjauhi larangannya).
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, pada makalah ini, penulis akan mengupas hikmah yang terkandung dalam beberapa ayat naqliyah sebagai bahan renungan khususnya terhadap term al ‘ilm yang muncul disana. Berangkat dari satu asumsi bahwa tidaklah term al ‘ilm yang tersebut dalam al Quran, melainkan pasti memiliki maksud yang dapat dipetik hikmahnya, maka kajian ini diharapkan mampu menambah ke-komperhensip-an pemahaman kita tentang masalah ilmu dan pendidikan Islam.

B.     Tafsir al Quran Surat Yunus Ayat 93 dan Huud ayat 14 serta 46
1.      Surat Yunus ayat 93
وَلَقَدْ بَوَّأْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ مُبَوَّأَ صِدْقٍ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ فَمَا اخْتَلَفُوا حَتَّىٰ جَاءَهُمُ الْعِلْمُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ﴿٩٣﴾
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di ternpat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu. ( Surat Yunus ayat 93)
Ayat tersebut menjelaskan tentang keutamaan yang dikaruniakan Allah, berupa pemberian tempat yang baik (mubawwa’a shidqin) kepada bani (keturunan) Isra’il, yakni Negeri Mesir dan Syam. Ibn Zaid, sebagaimana dikutip oleh al Maraghi, menafsirkannya dengan firman Allah yang memberikan gelar pada tempat tersebut sebagai tempat yang “diberkahi untuk sekalian manusia”, sebagaimana terungkap dalam ayat (الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ)  “sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. ( al Anbiya’:71)[1] Selain merupakan tempat tinggal yang aman semenjak dihancurkannya kekuasaan Fir’aun atas mereka[2], tempat itu juga dilengkapi Allah dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti tersedianya bahan pangan yang baik bagi kelangsungan hidup mereka(warazaqnaahum min ath thayyibaati). Dalam tafsirnya, Al Maraghi pun menjelaskan bahwa di sana terdapat banyak buah-buahan, henwan ternak serta binatang buruan baik di darat maupun di lautnya.[3] Mengenai ayat ini, Ibn Katsir bahkan melihatnya sebagai pernyataan Allah tentang pemberian nikmat yang tidak sekadar bernilaikan materiil, duniawi semata, namun juga ukhrawi, yaitu nikmat diniyah (nikmat yang bersifat agama). Pemberian nikmat diniyah kepada bani Israil ini secara jelas dapat dilihat dalam ayat tersebut bahwa tempat tinggal yang yang diberikan Allah kepada mereka disifati Allah dengan shidq, yaitu penuh barakah. Selain itu, mereka juga difasilitasi Allah dengan rizki yang halal.[4] Kemenangan yang Allah berikan kepada mereka atas penguasaan Fir’aun, menurut Wahbah, juga termasuk bentuk nikmat diniyah bagi mereka.[5] Karena dengan demikian mereka akan lebih leluasa dalam melaksanakan peribadatan kepada Allah yang sebagaimana dituntunkan oleh Nabi Musa.
Selanjutnya, dengan sikap Bani Israil yang kemudian justru berselisih faham setelah datang kepada mereka al ‘ilm, yakni sebagaimana diungkapkan al Maraghi sebagai pengetahuan tentang isi kitab Taurat serta kewajiban untuk menegakkan hukum-hukumnya, menjadikan ayat ini berupakan celaan tehadap keburukan sikap mereka.[6] al Sya’rawi dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna ayat “Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka al ‘ilm adalah:
Sebagian mereka, (yakni orang-orang yahudi) bersikukuh di atas kebatilan dan sebagian yang lain beriman (kepada Nabi Muhammad SAW).”[7]
Secara lebih jelas, Bani Israil yang disebutkan berselisih faham setelah datang kepada mereka al ‘ilmu artinya yaitu, tuntutan beriman dan penyerahan diri kepada nabi yang dijanjikan akan datang itu -- sebagaimana tersebut sifat-sifatnya dalam Taurat yang mereka baca dan pahami-- mereka campakkan ketika sang nabi tersebut benar-benar hadir di tengah-tengah mereka. Ilmu yang dimaksud di sini, dengan demikian adalah kebenaran atau kenyataan/ fakta yang menjadi bukti kebenaran risalah nabi yang diutus kepada mereka. [8] Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan oleh al Sya’rawi, bahwa pengetahuan  tentang datangnya nabi Muhammad merupakan sumber perselisihan mereka.[9] Sebagian mereka menerima serta mengimaninya, seperti Abdullah ibn Salam misalnya, tetapi sebagian  besar mereka ingkar dan menolaknya karena dengki serta adanya sikap iri hati.
Wahbah Zuhayli menarik kesimpulan tentang sikap bani Israil ini, yaitu bahwa mereka tidaklah berselisih faham pada sesuatu karena kebodohan, tetapi justru setelah datangnya ilmu.[10] Itu artinya, ilmu, termasuk dalam hal ini fakta-fakta ilmiah yang membuktikan kebenaran wahyu Allah dalam kitab yang disampaikan oleh para nabi kepada bani Isra’il tidak menjadikan mereka bertambah keyakinan, bahkan sebaliknya, pengingkaran yang terjadi. Lebih lanjut Wahbah mengungkapkan bahwa, keingkaran bani Israil tersebut lebih disebabkan karena sikap dengki yang menyelimuti diri mereka,[11] mereka benci dan gengsi untuk mengakui keutamaan risalah nabi Muhammad atas agama mereka. Padahal sebelum datangnya nabi Muhammad, mereka sangat memahami ciri serta sifatnya sebagaimana disebut dalam kitab mereka (Taurat), dalam bahasa al Quran, pengetahuan mereka terhadap karakteristik yang mencirikan nabi tersebut diutarakan dengan كما يعرفون أبناءهم sebagaimana mereka mengenal anak mereka...,[12] artinya, sangat dekat dalam mengetahuinya.
2.      Huud ayat 14
فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٤﴾
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (Huud ayat 14)
Pada ayat ini termaktub kalimat ilmu dan pecahannya sebanyak dua kali.  Pertama; dalam bentuk perintah, fa’lamuu yang artinya berilmulah, dan yang kedua; berbentuk keterangan bi’ilmi, dengan ilmu, yang dikaitkan dengan Allah sebagai pemilik ilmu tersebut, dengan ilmu Allah... Adapun ayat sebelum ayat ke-14 ini berbicara tentang pengingkakaran orang-orang kafir Quraish terhadap da’wah Nabi Muhammad. Mereka meragukan keotentikan al Qur’an, dan mereka menuduh bahwa al Qur’an memuat karangan tangan Muhammad, bukan murni dari Allah. Oleh karenanya Allah menantang mereka untuk membuat bandingannya sepuluh surat saja.
al Sya’rawi menjelaskan bahwa kalimat fa’lamu dalam ayat tersebut khitabnya (yang diajak bicara) dimungkinkan, pertama; kepada orang-orang kafir itu sendiri, karena ayat sebelumnya berisi tantangan Allah kepada mereka orang-orang kafir tersebut. Jika dikhitabkan kepada mereka, maka maknanya adalah: jika mereka tidak sanggup memenuhi tantangan itu, maka ketahuilah serta yakinilah bahwa al Qur’an itu datang dari Allah. Kalimat perintah ini juga berkhitabkan yang kedua; kepada Nabi termasuk kaum muslimin untuk menyampaikan apa yang juga wajib disampaikan oleh seorang nabi dan rasul. Dalam pengertian khitab seperti ini, maka fa’lamuu disitu artinya adalah “tambahlah ilmu kalian wahai orang-orang yang beriman bahwa al Quran benar-benar turun dari sisi Allah”. Ilmu yang dijadikan sebagai landasan dalam menggali kitabullah, bagi seorang mukmin berorientasi pada peningkatan keyakinan pada diri mereka. Sebagaimana dimaklumi, ada tiga tingkatan dalam keyakinan: (1) ilmu yaqin, (2) ‘ainun yaqin, dan (3) haqqun yaqin.[13] Peningkatan keyakinan tersebut merupakan syarat sah disiplin keilmuan yang benar, karena Allah sendiri dalam memberikan perintah untuk mengilmui (mentadaburi) al Quran (fa’lamuu..) sekaligus juga disampaikan kesimpulan atau jawabannya bahwa ia tidak lain adalah benar dari Allah (Unzila bi’ilmillah..).

3.      Huud ayat 46
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ﴿٤٦﴾
Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". (Huud ayat 46)
Nabi Nuh, dalam ayat tersebut diingatkan oleh Allah bahwa puteranya yang bernama Kan’an bukanlah termasuk bagian dalam keluarganya yang dijanjikan selamat dari adzab Allah. Kan’an, berdasarkan penjelasan al-Qurtubi, berada pada agama yang berbeda dengan ayahnya. Akan tetapi Nabi Nuh tidak mengetahui bahwa anaknya kafir, beliau menyangkanya mukmin. Karena itu, Nabi Nuh melarangnya bergaul dengan orang kafir.[14]
Pada saat Allah menimpakan adzab kepada orang-orang yang ingkar dan kafir kepada dakwah Nabi Nuh, maka Nabi Nuh yang ketika itu melihat Kan’an terhempas-hempaskan oleh banjir bandang, berdoa agar Allah menyelamatkannya. Nabi Nuh terkejut ketika ternyata Allah menjawabnya dengan firman-Nya bahwa ia bukan termasuk keluarganya, “Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik”.[15] Perbuatannya tidak baik disini, sebagaimana diungkapkan as Sa’di, maksudnya adalah kafir kepada Allah dan durhaka kepada Rasul-Nya, oleh karenanya Allah kemudian mengingatkan Nabi Nuh agar tidak meminta sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahui akhirnya dan akibatnya, apakah ia baik atau tidak baik“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya.”[16] Sementara dalam pandangan al Sya’rawi, ayat “Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya” menekankan agar berfikir dengan benar-benar sebelum meminta.
Dalam ayat selanjutnya, Allah menegaskan “Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. As Sa’di memahami ayat ini sebagai peringatan Allah yang bertujuan agar Nabi Nuh menjadi manusia yang sempurna dan selamat dari sifat orang-orang yang bodoh.[17]
Atas peringatan Allah ini, nabi Nuh menangis selama 40 tahun, bahkan - dalam satu riwayat - selama 300 tahun.[18]
C.    Aspek-aspek Pendidikan Dalam Ayat dan Hikmah Makna al ‘ilm-nya
Apa yang diuraikan Allah dalam Quran surat Yunus, ayat 93 dapat dicerap sebagai bentuk pendidikan dan pelajaran tentang kemu’jizatan al Quran. Dalam kapasitasnya sebagai kalamullah yang sempurna dan terhindar dari hal-hal yang mengotorinya (keraguan/syubhat), maka kabar berita yang disampaikannya tidak pernah hanya menjadi bacaan yang tidak ada realitanya. Selanjutnya, al Quran  pun mengukuhkan bahwa kitabullah (wahyu) merupakan ilmu yang benar sebenar rasul yang menyampaikannya, dan al Quran, dalam posisinya sebagai sumber ilmu Islam, tidak pernah akan berselisih dengan fakta realita. Hal ini juga berlaku bagi Kitab-Kitab Allah sebelum al Quran di zaman para nabi yang mendakwahkannya.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pemaparan tafsir ayatnya tersebut di atas, maka al-ilmu di sana dapat dilihat sebagai bentuk nyata (fakta) dari apa yang disebutkan oleh petunjuk Allah, yakni kitabullah berikut rasul utusan-Nya. Dalam hal ini, tentang kedatangan seorang nabi yang dijanjikan Allah, yakni Nabi Muhammad saw, sebagaimana Allah jelaskan sendiri dalam Kitab Taurat yang dida’wahkan nabi-Nya, Musa as, kemudian juga Isa as. Berpijak pada pandangan Ibn Qayyim, sikap bani Isra’il seperti dinyatakan dalam ayat ini dapat dinilai sebagai bentuk penghianatan atas nikmat yang Allah berikan.[19] Lebih dari itu, menolak ketetapan Allah, jelas merupakan tindakan maksiat yang tidak ringan, ia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekufuran. Apabila ditinjau dari segi tujuan pengungkapan keterangan ini, memungkinkan kita memahami bahwa menolak konsekuensi ayat, dengan mengesampingkan nilai yang hendak ditanamkan ayat agar dimiliki manusia ketika membaca ayat Allah tersebut merupakan kesalahan yang fatal dalam proses belajarnya.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan jalan memperoleh keyakinan. Namun demikian, tidak berarti keilmuan seseorang akan selalu mengantarkannya kepada keyakinan. Ini terbukti dengan sikap bani Israil, sebagai contohnya, yang justru berpaling setelah pengetahuan mereka yang sebelumnya tentang isi Taurat mengenai datangnya nabi Muhammad itu dituntut untuk semakin menguatkan keyakinannya ketika janji Allah terjadi. Bani Israil bahkan semakin ingkar, tidak mengakui, lebih-lebih mengimani nabi tersebut. Dengan kata lain, ilmu mereka tidak memberikan manfaat kepada mereka.
Cara Allah menjelaskan keingkaran Bani Israil pun, sebenarnya tidak luput dari adanya nilai luhur yang menarik untuk dikemukakan. Dari pengalaman ini, terbaca maksud Allah yang dapat dipetik sebagai peringatan bahwa potensi manusia untuk mengingkari ayat Allah itu besar. Bilamana dicermati, melalui ayat tersebut seakan-akan Allah mengungkapkan kepada kita “kurang nikmat apa sebenarnya Bani Israil?”
Terkait dengan pendidikan Islam, maka hikmah yang dapat dipetik dari pembahasan ayat 93 dari Surat Yunus tersebut yang antara lain berupa:
1) wahyu merupakan sumber ilmu yang tidak patut diragukan kebenarannya,
2) fakta ilmiyah/realita menguatkan kebenarannya,
menjadi modal awal yang membimbing seorang menuju kepada keyakinan terhadapnya. Oleh karenanya agar kebenaran yang dikandung oleh wahyu tidak menjadi kabur dan bahkan tidak meningkatkan keimanan, maka perlu diperhatikan rumusan tujuan pendidikan yang salah satunya seperti dipopulerkan oleh al Ibrasyi, bahwa pendidikan adalah untuk menyebarkan kebaikan, hidup dengan keikhlasan dan kemurnian. Sedangkan tujuan pokoknya adalah unruk pembentukan moral dan latihan jiwa.[20] Setiap materi pelajaran juga harus diformulasikan ajaran moral. Dan setiap pembimbing harus menjadikan etika agama di atas segala sesuatu
al Ghazali, mengungkapkan tujuan pendidikan adalah untuk pendekatan diri kepada Allah swt, tanpa ada perasaan sombong dan superioritas.[21] Meski terkesan berbeda, namun hasil akhir dari apa yang ingin diraih dari kegiatan pendidikan tersebut adalah sama saja. Yakni wujudnya akhlak mulia sebagai representatif dari bentuk insan kamil. Atau dalam konsep al-Attas, digunakan istilah manusia beradab. Apa yang difahami al Ghazali, seperti juga dalam gagasan al-Attas tentang ta’dib-nya (pembentukan manusia yang beradab) bahwa segala bidang keilmuan terlingkupi oleh masalah adab ini. Baik di awal, di tengah, maupun di akhir pencarian/ menuntut ilmu. Dengan kata lain, memulai menuntut ilmu, menurut al Ghazali harus memperhatikan adab, ketika menuntut/ mempelajarinya juga dengan adab, serta tujuan akhirnya pun terikat dengan adab (adab ilmuwan).
Pada ayat ke-14 surat Huud, kita disuguhkan sebuah ayat yang mempresentasikan dua istilah ilmu sekaligus. Yang pertama dalam bentuk perintah i’lam dan yang kedua dengan bentuk masdarnya (kata benda) ‘ilm. Dari rangkaian ayat tersebut tergambar arah tujuan mencari ilmu yang tidak lain, sebagaimana ditandaskan dalam pembahasan surat yunus 93, yaitu untuk menguatkan keyakinan. Dapat dilihat pada kelanjutan perintah fa’lamuu,[22] Allah sudah membatasi jawaban atau temuan proses pembelajaran yang dilakukan oleh manusia (si khitab) yaitu bahwa al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah. Artinya temuan manusia dari penelusuran ilmu tersebut pada ujungnya hanyalah kepasrahan dan pengakuan kuasa Allah. Hal ini juga dikuatkan dengan sambungan ayat berikutnya yang mengaitkan peng-ilmuan terhadap al Quran tersebut dengan masalah ketauhidan Allah.
وَأَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
dan sungguh tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia..
Untuk maksud  ini, oleh karenanya, di penghujung ayat tersebut Allah pun kembali mengingatkan, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?
Berikutnya, masih dalam kajian tafsir surat Huud, pada ayat 46 ditemukan term ilm yang memproyeksikan hakikat sesuatu. Dengan kata lain, pengetahuantentang apakah dia baik atau tidak. Makna ilmu sebagaimana yang difahami dalam pandangan as Sa’di ini memberikan pengertian bahwa ilmu merupakan sarana untuk memperoleh kebaikan. Karena jika apa yang didoa oleh Nuh adalah berupa kebaikan tentunya tidak menjadi halangan Allah mengabulkannya. Namun berkenaan dengan pengetahuan (ilmu) tentang kebaikan dan keburukan sesuatu di masa yang akan datang  adalah hanya dimiliki Allah. Pengetahuan yang termasuk dalam kategori ilmu ghaib tersebut menuntut manusia mengakui otoritas Dzat yang hanya Dia yang mengetahuinya. Manusia tidak boleh sombong dan harus jujur akan kelemahannya tersebut.
Selanjutnya, peringatan Allah kepada Nabi Nuh dalam ayat tersebut dijelaskan-Nya sebagai bentuk pencegahan agar Nuh tidak terperosok dalam kebodohan. Menggambarkan bahwa ilmu adalah sebagai sarana mendapatkan manfaat serta kebahagiaan dalam cakupan syari’atullah. Karena orang yang mencari manfaat serta kebahagiaan yang tidak sesuai dengan kehendak syari’at-Nya dikatakan bodoh oleh Allah. Hal ini mengingatkan kita pada ayat Allah yang lain tentang hakikat kehidupan dunia yang fana. Di dalamnya hanyalah berisi sendagurau belaka, dan kebahagiaannya bersifat menipu saja (al Hadid: 6)
Sebagaimana dijelaskan dalam tafsirnya, dinyatakan bahwa karena meninggalkan petunjuk-Nya menyebabkan seluruh perbuatan Kan’an menjadi buruk innahu ‘amalun ghairu shalih. Selain menghindarkan dari kebodohan, ilmu jauhnya

D.    Penutup
Dari pemaparan kajian tafsir ayat-ayat di atas, serta beberapa aspek pendidikan yang dapat ditarik darinya melengkapi perbendaharaan kita tentang nilai al Quran yang sangat tinggi terkait masalah ilmu. Penghormatan Islam terhadap ilmu, seperti diungkapkan beberapa ayat tentang ilmu dalam al Quran menunjukkan bukti yang sangat kuat bahwa Islam adalah Agama Ilmu Pengetahuan. Dalam bukunya, History Of Education, Monrue mengatakan bahwa orang-orang Islam telah membuat inovasi yang sangat berharga dalam ilmu medis, bedah, farmasi, astrologi, dan psikologi. Diterangkan pula tentang orang yang pertama kali mengajarkan kompas dan senjata di eropa.[23]
Adapun aspek penting berkaitan dengan keilmuan yang dimuat dalam ayat-ayat tersebut di atas dapat disimpulkan dalam beberapa point berikut:
1.      Mengingkari/ menolak petunjuk kitabullah dinilai bentuk kebodohan
2.      Dalam mencari Ilmu, ada kaidah yang perlu untuk diperhatikan. Termasuk kaidah dalam mencari ilmu adalah memperhatikan adab
3.      Meminta sesuatu kepada Allah, terlebih dahulu perlu memperhitungkan kemaslahatannya
4.      Adanya tuntutan pengakuan terhadap keyakinan akan relevansi al Quran sampai zaman kita sekarang (dan yang akan datang), berkonsekuensi menerapkan teorinya dalam segala lini kehidupan. Khususnya dalam hal ini, masalah pendidikan.
5.      Indikasi keilmuan seseorang dapat dikaitkan dengan sikap ridhanya terhadap takdir Allah atasnya. Karena seandainya manusia memiliki ilmu, maka ia tahu bahwa sebenarnya apa pun  yang diputuskan Allah sejatinya bermuara kepada segala kebaikan untuk kehidupannya. Hal ini selaras dengan sifat haq Allah, yaitu pemilik nikmat, seperti ditunjukkan dalam ayat shiraatalladziina an’amta ‘alaihim dalam surat al Fatihah. Kata nikmat dalam ayat tersebut dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa ia diberikan oleh Allah. An’amta.. Berbeda dengan ayat berikutnya, ghairil maghdhubi ‘alaihim, pada ayat tersebut pun tidak menunjuk secara langsung bahwa Allah memurkai mereka (dalam kaidah nahwu bentuk kalimat yang digunakan disana disebut dengan isim majhul, artinya tidak diketahui pelakunya siapa), namun dapat difahami bahwa kaum muslimin dan para nabi pun mengutuk mereka termasuk seluruh makhluk yang ada. Karena itu, sebagaimana ayat tersebut, kemurkaan yang menimpa atas diri orang-orang Yahudi tidaklah serta merta karena Allah membenci mereka semenjak menciptakan mereka. Mereka dimurkai tersebabkan oleh adanya faktor-faktor kejahatan dari diri mereka sendiri.[24]
6.      Di antara ciri manusia beradab adalah mengakui otoritas dalam ilmu. Terhadap ilmu yang menjadi otoritas Allah, maka ia tidak memaksakan diri untuk hanya menyakini jika mengetahuinya (ma’qul)
Secara lebih sederhana, ayat-ayat ini sebenarnya menyerukan makna pendidikan  sebagaimana yang kemudian diusulkan al-Attas dengan gagasan ta’dib untuk term pendidikan Islam kontemporer yang paling tepat. Teori pendidikan yang menekankan pada misi tersebut juga telah banyak dipopulerkan oleh para ulama masa klasik, seperti al Ghazali misalnya, ia menulis bab-bab yang membahas tentang masalah adab dalam karyanya Ihya Ulumiddin. Selain al Ghazali, Ibn Jama’ah juga menyentuh pembahasan adab melalui karyanya yang ia beri judul adab al sami’.

Wallahu a’lam...

REFERENSI

as Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 2012, Taisir Kalam Ar Rahman Fie Tafsir Kalam Al Manan (terj), jilid:III, Jakarta: Pustaka  Sahifa, cetakan ke-3
al Thabary, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. 2001, Tafsir al Thabari Juz 22, Cairo: Dar Hajar, cetakan I
al Maraghi, Ahmad Mustafa. 1365H/ 1946M, Tafsir al Maraghi, Vol.11, Mesir: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa al Baby al Halaby wa Auladuhu, Cetakan 1
al Sya’rawi, 1991. Tafsir al Sya’rawi, jilid 10, Cairo: Akhbar al Yaum
al-Qurtubi, al-Jami’, vol. 7
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Qur’an
al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, Markaz Hajr Lil Buhuts Wa Ad Diraasat Al Arabiyah Wa Al Islamiyah
ibn Katsir, Isma’il ibn ‘Umar. 2000, Tafsir al Quran al ‘Adzim, Cairo: Al Faruq Al Haditsiah Li ath Thaba’ah wa an Nasyr, cetakan 1
Al Haqil, Royyad. 1992, Mensyukuri Nikmat Allah Bagaimana Caranya?, Jakarta: Gema Insani Press
Al Ibrashi, Muhammad Atiya. 1991,  Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Gontor Ponorogo: Pusat Studi Ilmu Dan Amal, cetakan II
Zuhaily, Wahbah. 1991, Tafsir Al Munir, Juz 11-12, Beirut: Dar Al Fikri, cet 1


[1] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al Thabary, Tafsir al Thabari Juz 22, Cairo: Dar Hajar, cetakan I, 2001, hal.284
[2] Sebagaimana dalam ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan perihal Fir’aun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan dalam lautan ketika mereka hendak mengejar rombongan bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa. Lihat ayat 90
[3] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Vol.11, Mesir: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa al Baby al Halaby wa Auladuhu, Cetakan 1, 1365H/ 1946M, hal.153
[4] Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir, Tafsir al Quran al ‘Adzim, Cairo: Al Faruq Al Haditsiah Li ath Thaba’ah wa an Nasyr, cetakan 1, 2000, hal.399-401
[5] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, Juz 11-12, Beirut: Dar Al Fikri, cet 1, 1991, hal. 261
[6] Imam Bukhari mencatat satu riwayat tentang keburukan (kekolotan) orang-orang yahudi untuk tetap tidak beriman kepada Nabi Muhammad sekalipun orang yang paling baik di antara mereka sendiri beriman. Dalam Shahih-nya(3938), sebagaimana dinukil al Sya’rawi, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Salam, yakni seorang yahudi, mengakui sendiri bahwa mereka adalah kaum buhtun, kolot. Abdullah pernah meminta nabi untuk membuktikannya dengan menanyakan perihal Abdullah di mata orang-orang yahudi. Mereka menjawab dengan lantang bahwa ia adalah orang yang paling baik di antara mereka, orang yang wara’-nya mereka, sesepuh mereka. Namun keadaan berbalik 180 derajat ketika setelah mereka memuji Abdullah bin Salam, Abdullah bersyahadat. Celaan dan hinaan kemudian yang keluar dari mulut orang-orang yahudi. Abdullah pun mengatakan, “benarkan apa yang aku katakan wahai rasulullah, mereka adalah orang-orang yang bodoh lagi kolot.”. al Sya’rawi, Tafsir al Sya’rawi, jilid 10, 1991, Cairo: Akhbar al Yaum, hal.6195-6196
[7] al Sya’rawi, Tafsir al Sya’rawi , ibid, hal. 6196
[8] Tafsir al Maraghi, hal.153
[9] al Sya’rawi, Tafsir al Sya’rawi, jilid 10, 1991, Cairo: Akhbar al Yaum, hal. 6192
[10] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, Juz 11-12, Beirut: Dar Al Fikri, cet 1, 1991, hal. 259
[11] Di antara penyebab kedengkian mereka adalah dikarenakan mereka mengharuskan kenabian muncul dari keturunan mereka.
[12] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, ibid, hal. 262
[13] al Sya’rawi, Tafsir al Sya’rawi, ibid.. hal. 6377
[14] al-Qurtubi, al-Jami’, vol. 7, 38, Pada ayat 42, Nabi Nuh dengan tegas menyeru Kan’an meninggalkan hubungan dengan orang kafir. Lihat, Sayyid Qutb, Fi Zilalil Qur’an, hal. 66
[15] Melalui ayat ini, dapat ditarik satu pelajaran bahwa ikatan keluarga bukan didasarkan pada ikatan darah saja, tetapi juga terikat dengan akidah. Bahkan ikatan akidah merupakan ikatan yang kuat  melebihi ikatan keluarga
[16] Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, Taisir Kalam Ar Rahman Fie Tafsir Kalam Al Manan (terj), jilid:III, Jakarta: Pustaka  Sahifa, cetakan ke-3, 2012, hal. 526
[17] ibid
[18] al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, Markaz Hajr Lil Buhuts Wa Ad Diraasat Al Arabiyah Wa Al Islamiyah, hal. 439
[19] Kesimpulan demikian diperoleh berdasarkan apa yang diuraikan oleh ibn Ibn Qayyim ketika membagi landasan-landasan dalam syukur yang terdiri atas lima bagian: (1) Tunduk kepada yang memberi nikmat, (2) Cinta kepadanya, (3) Mempunyai kesadaran untuk menyatakan bahwa nikmat itu datang hanya dari Allah swt, (4) Senantiasa memuji Allah atas anugrah-Nya, (5) Melakukan segala aktifitas yang hanya diridhai-Nya dan tidak melakukan maksiat. Rumusan Ibnu Qayyim ini berdasarkan perkataan ulama yang di antaranya الشكر ترك المعاصي “Bersyukur adalah meninggalkan maksiat” dan juga الشكر هو الا تستعين بشيء من نعم الله على معاصيه “Syukur adalah agar kamu tidak menggunakan sesuatu apapun dari nikmat-nikmat Allah untuk keperluan bermaksiat kepada-Nya.”Royyad Al Haqil, Mensyukuri Nikmat Allah Bagaimana Caranya?, Jakarta: Gema Insani Press, 1992, hal.33-35
[20] Muhammad Atiya Al Ibrashi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Gontor Ponorogo: Pusat Studi Ilmu Dan Amal, cetakan II, 1991, hal.1
[21] ibid, hal.2
[22] Dalam hal ini, sebagaimana mengacu pada penafsiran imam al sya’rawi tentang makna  khitab kedua kalimat ini, yaitu Nabi dan kaum muslimin, sehingga mengandung arti “tambahlah ilmu kalian wahai orang-orang yang beriman..” al Sya’rawi, Tafsir al Sya’rawi, ibid, hal.6377
[23] Muhammad Atiya Al Ibrashi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Gontor Ponorogo: Pusat Studi Ilmu Dan Amal, cetakan II, 1991, hal.3
[24] Hal lain yang dapat menguatkan hikmah ini adalah kisah yang Allah ceritakan dalam al Quran tentang Nabi Musa bersama Khidhir. Sikap Khidhir, selalu dinilai salah dalam pandangan nabi Musa, Musa tidak menyadari hal itu adalah perintah Allah kepadanya. Ketika semua yang dilakukan Khidhir  kemudian dijelaskan mengapa dan apa rahasia/hikmahnya barulah Musa menyadarinya. Misalnya ketika Khidhir  merusak perahu nelayan yang baik hati memberi tumpangan untuknya.. hal tersebut karena Allah sebenarnya bukan sekadar ingin mengujinya, sebaliknya Allah bahkan ingin memberi karunia yang lebih besar terhadapnya, yaitu selamatnya ia dari penguasa dzalim yang biasa menjarah perahu-perahu milik nelayan miskin. Jadi keilmuan seseorang sangat erat hubungannya dengan sikap sabar dan ridha terhadap takdir-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemajuan Yang Dicapai Oleh Abbasiyah

Pembentukan Dinasti Abbasiyah

Pendidikan Akhlak