Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan dinasti abbasiyah berdiri pada tahun 132 H/ 750 M seiring dengan runtuhnya pemerintahan dinasti umayyah. Khalifah pertama dari pemerintaahan ini adalah Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al Abbas Ibn Abdul Mutthalib, yang bergelar As Saffah.
Usaha pendirian dinasti ini dimulai dari gerakan sembunyi-sembunyi yang dipimpin oleh Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al Abbas yang kemudian diteruskan oleh Ibrahim, anaknya. Ayah Muhammad, Ali Ibn Abdullah Ibn Al Abbas adalah orang yang loyal kepada Bani Umayyah. Karena keloyalannya, Khalifah Al Walid Ibn Abd Al Malik memberi hadiah kepada Ali sebuah tempat bernama Humaymah/ Hamimah, dekat dengan Damaskus. Tempat yang semula tenang ini berubah ketika Muhammad terobsesi untuk meletakkan dasar-dasar kekuasaan dengan cara mempropagandakan perebutan kekuasaan dari bani Umayyah.[1]
Muhammad[2] dikenal sebagai sosok yang ambisius. Maka, dia pun segera melahirkan pemikiran untuk mendirikan pemerintahan Abbasiyah. Dia memulai gerakannya ini pada tahun 100 H. Humaymah/ Hamimah dijadikan seebagai tempat perencanaan, konsolidasi dan sistem kerja gerakan. Sedangkan Kuffah dijadikan sebagai pusat pembentukan opini dan Khurasan sebagai pusat penyebarannya.[3]
Adapun pemikiran yang disebarluaskan oleh Muhammad ini adalah bahwa setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan dan anak-anaknya.[4] Oleh karenanya, berdirinya pemerintahan ini juga dapat dikatakan sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim tersebut[5]. Sedangkan ide untuk mengambil alih kepemimpinan dari tangan Umayyah ini, menurut Didin Saefudin, selain adanya pemikiran tentang hak kepemimpinan ditangan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggalnya, ada juga faktor memperebutkan supermasi kabilah antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, terlebih lagi Bani Hasyim selama ini merasa berada di pihak yang terpinggirkan.[6]
Pada tahun 125 H/ 742 M, Muhammad meninggal. Anaknya, yang bernama Ibrahim tampil menggantikannya. Pada tahun itu pemerintahan Bani Umayyah telah mengalami kemunduran yang sangat setelah meninggalnya Hisyam Ibn Abd Al Malik yang memerintah selama 20 tahun.[7] Ketika itu terjadi adanya fanatisme antara orang-orang arab selatan dan arab utara, khususnya Khurasan. Hal inilah yang membuat orang-orang Syi’ah mendapatkan kemenangan-kemenangan baru di kawasan tersebut.
Usaha untuk mempropagandakan gerakan anti-Umayyah[8] ke setiap pendudukpun terus dilakukan oleh Ibrahim, terutama di dua kota ini, Kuffah dan Khurasan. Pada tahun 129 H/ 746 M Ibrahim memerintahkan Abu Muslim Al Khurasani, salah seorang panglimanya, untuk mendeklarasikan gerakan revolusi di Khurasan. Mengetahui hal ini, Khalifah Marwan Ibn Muhammad (khalifah terakhir Bani Umayyah) segera bertindak. Dia memerintahkan tentara untuk menangkap Ibrahim. Ia lalu dipenjarakan di kota Harran sampai akhirnya dibunuh.
Perjuangan Ibrahim dilanjutkan oleh saudaranya, Abdullah Atau Abu Al Abbas yang bergelar As Saffah sesuai perintahnya. Gerakan yang dilancarkan Abu Al Abbas semakin meluas dan memperoleh dukungan dari berbagai kelompok pemberontak seperti kaum Syi’ah , oposisi pimpinan Al Mukhtar, dan kelompok oposisi pimpinan Abu Muslim Al Khurasani. Setelah mendeklarasikan pemerintahannya tahun 132 H di Kuffah[9], ia memberangkatkan pasukannya untuk memerangi Marwan Ibn Muhammad di kawasan dekat Mosul bernama Az Zab. Marwan pun akhirnya dapat dikalahkan. Ia dibunuh setelah sebelumnya kabur ke Mesir dan ditahan di Bushir. Dengan demikian, pemerintahan sekarang dikendalikan oleh Bani Abbas. Sedangkan Bani Umayyah yang masih tersisa, ditangkap, dibunuh dan disiksa oleh Bani Abbas kecuali satu orang yang dapat melarikan diri ke Andalusia.[10]
[1] Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam Dekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasyiah, Jakarta; PT Grasindo, 2002. hlm.28
[2] Menurut Ahmad Syalabi, dalam Sejarah Dan Kebudayaan Islam III, Jakarta; PT Pustaka Al Husna Baru, 2003. hlm.23. Muhammad adalah seorang yang tajam pikirannya, bijaksana dan bercita-cita tinggi. Ahmad Syalabi memberikan gambaran kecerdikan Muhammad yaitu, dia dapat membaca situasi yang terjadi kemudian dengan cepat dapat memanfaatkannya dengan sangat baik. Dengan bekal pengetahuannya tentang sejarah, Muhammad mampu merangkul orang-orang Alawiyah yang karap kali mengalami perpecahan saat terjadi kekosongan akibat imam tertentu yang diikutinya terbunuh, sehingga dalam setiap usaha pemberontakan-pemberontakan/ reformasi selalu menuai kegagalan. Muhammad menangkap adanya kesamaan misi dalam masa ini, yaitu cita-cita untuk menumbangkan pemerintahan Umayyah yang dianggap telah merampas hak kekuasaan yang semestinya berada di tangan Alhul Bait atau keluarga yang masih ada hubungan kerabat dengan Nabi. Ditambah lagi, ketidak adilan Umayyah dan kebenciannya yang nampak kepada Ahlul Bait menjadikan golongan Alawiyah dengan mudahnya memberikan dukungannya kepada usaha Muhammad untuk mendirikan pemerintahan Abbasiyah.
[3] Ahmad Al Usairy, At Taarihul Islaami, Terj: Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta; Media Eka Sarana, 2003. hlm.216
[4] Pemikiran ini tidak bisa berkembang di masa awal Islam, karena memang pemikiran Islam yang benar dan lurus adalah bahwa kekuasaan itu hak semua kaum muslimin selama dia mampu memenuhi amanat dan memenuhi syarat
[5] Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam. hlm.215
[6] Didin saefudin, Zaman Keemasan Islam. hlm.28
[7] Philip K. Hitti, dalam history of arabs, hlm.351 mencatat beberapa hal yang menyebabkan kelemahan bani umayyah, diantaranya adalah; 1) adanya perpecahan yang terjadi antar suku, 2) konflik di antara anggota keluarga kerajaan, 3) munculnya berbagai kelompok yang merongrong kekuasaan mereka, 4) semakin aktifnya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan syi’ah serta dukungan rakyat atas usahanya.
[8] Yusuf al Isy, dalam Tarikh Ashr Al Khilafah Al Abbasiyah, terj; Dinasti Abbasiyah, Jakarta; Pustaka Al Kautsar. cet. 1, 2007. hlm.22. memaparkan, Bani Abbas menyerukan bahwa Bani Umayyah adalah musuh agama, oleh karenanya mereka wajib dimusnahkan. Dengan ini Bani Abbaspun dapat mengambil keuntungan dari unsur-unsur yang memusuhi Bani Umayyah sejak awalnya. _ gerakan anti-Umayyah kepada kaum mawali dilakukan dengan membangkitkan semangat mereka untuk melawan kebijakan yang diterapkan oleh Umayyah yang mendiskriminasi kaum mawali dan menempatkan mereka sebagai penduduk kelas dua._ pada hlm. 15 juga disebutkan, Ibrahim mengatakan kepada kaum syi’ah bahwa aktifitasnya adalah untuk membalaskan para syuhada Ahlul Bait.
[9] Disanalah ketika itu dilaksanakan baiat kepada keluarga abbas tetapi abu salamah al khallali, pemimpin gerakan propaganda kuffah tidak menyetujuinya. Itulah di antara alasan saffah membunuhnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan gerakan pemberontakan di masa pemerintahannya. Yusuf Al Isy, dalam Tarikh Ashr Al Khilafah Al Abbasiyah. hlm.18
[10] Al utsairy memberi tahun yang berbeda pada pembaiatan As Saffah sekaligus pembunuhan marwan, yaitu 132H/ 149 M. Ahmad Al Utsairy, At Taarikh Al Islamy. hlm.217-128
Komentar
Posting Komentar