Pendidikan Akhlak
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Analisis Terhadap Tujuan Pendidikan Dalam
Hadits-Hadits Nabawi
A.
Pendahuluan
Islam, dengan semangat rahmatan
lil ‘alamin-nya telah begitu besar memberikan perhatian dalam masalah
pendidikan. Ia diletakkan pada tempat yang sangat mulia. Terbukti, banyak
sekali pujian dan pengistimewaan bagi para pelaku pendidikan ini. Dengan menyelenggarakan
pendidikan yang benar dan berkualitas sesuai dengan perintah Islam,
individu-individu yang beradab sesungguhnya akan terbentuk sehingga akhirnya
memunculkan kehidupan sosial yang bermoral.
Dewasa ini, sekalipun telah
banyak institusi pendidikan yang dapat dikatakan memiliki kualitas fisik serta fasilitas
canggih yang mendukung proses pendidikan yang diselenggarakan, akan tetapi pada
kenyataannya, kondisi tersebut masih belum mampu menciptakan individu-individu
yang beradab. Bahkan, nampak bahwa, visi dan misi pendidikan yang mengarah
kepada terbentuknya manusia yang beradab malah terabaikan dari tujuan
pendidikan. Tidak sedikit dari penyedia layanan pendidikan tersebut yang tidak
menekankan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai
kebaikan, spiritual dan moralitas, hal tersebut karena dirasa bukan sebuah
prioritas. Kondisi sebaliknya yang terjadi saat ini, justeru banyak institusi
pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi
yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu
pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang
akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara
ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan
utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini
dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun
akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun
status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang
beradab.
Pendidikan yang bertujuan
pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan
Barat yang sekular. Dalam masyarakat itu, tingginya pendidikan seseorang tidak
berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Selanjutnya,
dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin kemudian adalah
banyaknya dari kalangan muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam
kehidupan nyata, mereka belum menjadi muslim-muslim yang baik dan berbahagia.
Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan
rendahnya moral serta akhlak kehidupan muslim. Sekali lagi, ini terjadi
disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Sebenarnya, agama Islam
memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis yang berdimensi keduniaan semata. Saking urgennya masalah pendidikan,
Islam bahkan menjadikan sebagai satu syarat menjadi benarnya keimanan seseorang.
Surat al ‘Ashr misalnya, menyebut pengecualian manusia yang akan merugi antara
lain adalah mereka yang beriman, kemudian beramal shalih serta ber-tawaashau
bi al haq dan tawaashau bi ash shabr, yakni pelaksanaan suatu proses
pendidikan dengan saling menasehatkan tentang kebenaran dan kesabaran. Selain
itu, salah satu hadits Nabi mengungkap batas minimal keimanan seseorang adalah
melakukan perubahan atas kemungkaran walaupun dengan hati. Dalam hal yang
paling prinsipil, Islam juga memandang bahwa belajar, sebagai salah satu makna
pendidikan yang tujuannya untuk mengetahui sesuatu, adalah hal paling wajib
terhadap syahadat. Syarat diterimanya syahadat yang pertama adalah mengetahui
maknanya, al ‘ilm.[1]
Dari sini dapat difahami bahwa suatu
proses pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dari gaya hidup seorang muslim
yang memahami hakikat agamanya secara benar. Ia akan melaksanakan proses atau
kegiatan ini dengan sebenar-benarnya untuk mendapatkan satu tujuan utama sesuai
dengan apa yang telah digariskan oleh syar’i. Dalam hal ini, sebagaimana yang
diyakini oleh Hasan Langgulung, seorang pakar pendidikan, bahwa tujuan
pendidikan adalah tujuan hidup manusia itu sendiri. Sebab, pendidikan bertujuan
untuk memelihara kehidupan manusia.[2]
Tujuan hidup manusia seperti tergambar dengan jelas dalam surat Adz Dzariat, ayat: 56 “Tidaklah Aku menciptakan
Jin serta Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu.” Lebih jelas,
diungkapkan pula oleh As Sa’di dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Inilah tujuan Allah
menciptakan jin dan manusia serta diutusnya para rasul, yaitu untuk menyerukan
agar mereka beribadah kepada Allah, yang mencakup di dalamnya; mengenal dan
mencintai-Nya; bertaubat kepada-Nya; menghadap dengan segala yang dimiliki
kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.”[3]
Titik terpenting dalam pelaksanaan
proses pendidikan adalah pada penentuan tujuan dari kegiatan pendidikan itu
sendiri.[4] Hal demikian jelas karena ending
dari kegiatan ini ditentukan oleh rencana awal kerja. Nahlawi,
seperti dikutip oleh Dedeng Rosyidin, menunjukkan bahwa tujuan ternyata
menempati posisi sangat vital, ia menyebutkan bahwa tujuan adalah upaya yang
direncanaan oleh manusia, diletakannya sebagai pusat perhatian, dan demi
merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Cakupan dari pada tujuan itu amat
luas, mencakup berbagai masalah, yaitu keinginan, proses, ramalan dan maksud.[5] Jadi, pelaksanaan proses
pendidikan dan menentukan tujuan adalah ibarat seorang yang berjalan, ia akan
sampai ke tempat dimana telah dia rencanakan sebelumnya untuk dituju.
Atas pentingnya tujuan dari
pendidikan, maka sering kali ianya sekaligus menjadi pengertiannya sendiri,
seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa Pendidikan adalah: “proses pengubahan
sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan
mendidik.”[6]
Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal
1 ayat (1) juga diuraikan tentang definisi pendidikan, disana dinyatakan bahwa Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.[7]
Seorang tokoh pendidikan Islam terkemuka abad ini, Muhammad Naquib al-Attas pun
memberikan definisi yang menggambarkan pada tujuannya yang jelas, “segala
sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu
upaya menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan menjadi bagian dari kepribadian
anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, baik, mampu hidup dan
berguna bagi masyarakat”[8]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah proses yang terarah, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan
dari perencanaan yang didalamnya tercakup penentuan tujuan dari kegiatan
pendidikan itu sendiri. Berangkat dari kerangka berfikir ini, menyadarkan
kepada kita bahwa tujuan pendidikan yang sebagaimana telah disinggung sedikit
dalam pendahuluan ini di atas, serta didukung oleh dasar hukum negara yang sah harus
dijabarkan lagi melalui perincian yang lebih gamblang dari apa yang dicontohkan
oleh penafsir al Qur’an, yakni Rasul mulia kita, Muhammad saw.
B.
Pendidikan:
Upaya Penanaman Akhlak Karimah
Agar lebih meluas efektifitas suatu
proses pemeliharaan kehidupan manusia melalui pendidikan ini, maka tidaklah mengherankan
jika Islam kemudian juga melekatkannya dalam pembinaan keluarga yang notabena
merupakan pendidikan pertama yang diterima oleh sang anak sebelum bentuk-bentuk
pendidikan yang lain. Dalam masalah ini, seperti disebutkan dalam al Quran,
surat at Tahrim ayat 6. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka” (at Tahrim: 6) Sufyan al-Tsauri mengatakan
bahwa dalam ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah memerintahkan
kepada ayah untuk mengajarkan adab kepada anggota keluarganya dan mendidik
mereka. Ali Ibn Abi Thalhah juga menegaskan, yaitu dengan mengajarkan kepada
mereka supaya bertakwa kepada Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Demikian
pula Qatadah, beliau mengatakan “serta dengan menolong mereka untuk dapat
melaksanakannya.”[9] Mengenai
makna perintah mendidik pada ayat ini, as Sa’di juga sependat.[10]
Disinilah kemudian disepakati bahwa
tujuan umum pendidikan Islam ialah melahirkan manusia yang baik,yaitu manusia
yang bertaqwa dan taat beribadah kepada
Allah Ta‟ala. Selanjutnya, tujuan umum tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu: Pertama; Menjadikan peserta
didik sebagai hamba Allah yang bertaqwa. Kedua; Mengantarkan anak didik
menjadi khalifah. Ketiga; Mengantarkan peserta didik memperoleh kebahagiaan
di Dunia dan akhirat.[11]
Adapun secara khusus dalam pendidikan Islam, yang menjadi
tujuan utama adalah terbentuknya akhlak yang mulia (akhlak al-karimah) yang mencakup
hubungan antara manusia kepada dirinya sendiri, sesama manusia dan seluruh
makhluk yang ada. Dan kesemuanya itu adalah penjabaran atau bentuk aktualisasi
dari ber-akhlakul karimah kepada Allah, yaitu dalam bentuk mentaati
perintah-Nya. Oleh karenanya, Al Qur-an mendorong manusia untuk berbuat baik
juga kepada alam lingkungannya baik dari segi fisik atau non fisiknya yang
berupa tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Allah, misalnya menjelaskan
dalam firmanNya surat al A’raf:56
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا...
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi ini setelah
diperbaikinya...”
Imam as Syaukani menyatakan bahwa diantara bentuk membuat
kerusakan di bumi adalah membunuh manusia dan merusak
rumah-rumah tempat tinggal mereka, menumbangkan pohon-pohon, atau mencemari
sungai-sungai dalam jumlahnya yang kecil atau banyak. Berbuat kerusakan di bumi
juga mengandungi arti kufur kepada Allah dan berbuat ma’shiat kepadaNya.[12]
Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat 41 surat Ar Ruum
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan
(maksiat)[13] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”.
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua
kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab
utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan
merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi. Imam Abul
‘Aliyah ar-Riyaahi berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka
bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di
muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah
Ta’ala)”.[14]
Imam asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini)
Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya
(berbagai) kerusakan di alam semesta”.[15]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
(dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Allah Ta’ala
memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta
maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya
adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”.[16]
Socrates,
dalam mu’assisul falsafah al akhlâqiyyah, menyatakan bahwa tidak ada
sesuatu yang lebih penting bagi manusia daripada mendidik akhlaknya sebelum
berbicara masalah yang lainnya.[17]
a.
Definisi
Akhlak
Sebelum
menguraikan contoh-contoh pendidikan Islam yang memiliki pandangan kuat
terhadap pembentukan akhlak, ada baiknya disini disinggung terlebih dahulu
mengenai pengertian dari akhlak itu sendiri. Secara etimologi, kata “al
Akhlaq” (akhlak) yang merupakan bentuk jama’ dari “al Khuluq”
memiliki banyak makna, di antaranya yaitu ath Thabi’ah atau ath
Thab’u (tabiat),[18] ad
Dîn (agama)[19] dan as
Sajiyyah (perangai).[20]
Sedangkan
secara terminologi, Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali mendefinisikan akhlak
dengan, “Ungkapan tentang kondisi yang menetap di dalam jiwa, dimana semua
perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses
berpikir dan merenung. Apabila kondisi jiwanya menjadi sumber
perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji, baik secara akal dan syariat, maka
kondisi itu disebut sebagai akhlak yang baik, dan apabila yang bersumber
darinya adalah perbuatan-perbuatan yang jelek, maka kondisi itu disebut sebagai
akhlak yang buruk.”.[21]
Ibnu
Miskawaih, filosof muslim pertama yang membahas tentang akhlak juga
mendefinisikan serupa. Menurutnya, makna akhlak adalah, “suatu kondisi jiwa
yang mendorong untuk melakukannya tanpa berpikir dan merenung.” (Hâlun
lin nafsi dâ’iyatun laha ila af’âlihâ min ghairi fikrin wa rawiyyatin).[22]
Sedangkan
al Jahizh (255 H) juga mendefinisikan akhlak dengan, “Kondisi jiwa dimana
manusia melakukan perbuatan-perbuatannya tanpa proses merenung dan memilih.” (hâlun
nafsi bihâ yaf’alul insanu af’âlahu bi lâ rawiyyatin wa lâ ikhtiyârin).[23]
Sementara
Abdurrahman al Maidani mendefinisikan akhlak dengan, “Sifat yang menetap di
dalam jiwa, baik itu bawaan maupun diusahakan, yang memiliki pengaruh dalam
perilaku, entah itu baik atau buruk.” (Shifatun mustaqirratun fin nafsi
fithriyyatan au muktasabatan dzâtu âtsârin fis sulûki mahmûdatan au
madzmûmatan).[24]
Dari
semua definisi akhlak[25]
yang dipaparkan oleh jumhur ulama’ di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
akhlak memiliki 3 ciri, yaitu; pertama, akhlak adalah perbuatan yang
telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga sudah menjadi karakternya; kedua,
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran; ini
tidak berarti bahwa saat melakukan sebuah perbuatan, yang bersangkutan dalam
keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila; ketiga, akhlak
adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa
ada paksaan atau tekanan dari luar.
C.
Tujuan
Pendidikan Yang Disebutkan Dalam Hadits-Hadits Nabawi
Menggunakan
kacamata hadits untuk melihat tujuan-tujuan dari pendidikan menghasilkan
pandangan-pandangan, di antaranya, bahwa pendidikan;
1.
Menyadarkan
manusia akan kewajibannya yang paling utama, yaitu untuk menghambakan diri
kepada Allah (Ta’abbud) secara total atau bertauhid yang benar dan
memiliki akhlaqul karimah/ akhlak yang mulia. Nabi bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ
بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ
الْإِيمَانِ
Dari Abu
Hurairairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ”Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang
tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terrendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan”(
ini lafaz Muslim) (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendidikan
Islam yang bertujuan untuk menjadikan seluruh manusia menghambakan dirinya kepada
Allah ini telah digariskan Allah juga dalam surat Ad Dzariat ayat: 56, Allah
berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menghambakan diri kepada-Ku.
Menghambakan diri kepada Allah dimaksud
yaitu: menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan
konsekuen dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya,
dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepadaNya. Inilah yang
disebut dengan tauhid. Bagi muslim, tauhid menjadi pegangan pokok dan
sangat menentukan dalam kehidupan, karena tauhid menjadi landasan bagi
setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam,
yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik
dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti. Bahkan
, karena sedemikian pentingnya permasalahan tauhid ini, sehingga misi
utama yang diemban oleh para Rasul yang diutus Allah adalah untuk menegakkan
tauhid dalam pengertian tersebut di atas, mulai dari Rasul pertama sampai Rasul
terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman dalam surat An Nahl : 36,
yang berbunyi:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ
فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)
Karena
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata, sehingga,
mengaitkan dua hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
اتَّقِ
اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Dari Abu
Dzar radhiyallahu’anhu ”Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada.
Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya.
Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik.” hadits hasan
sahih (HR. Tirmidzi).
Integritas
antara beragama dan berakhlak juga tersebut dalam sebuah riwayat dari Jabir bin
Samurah radiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ أَحْسَنَ النَّاسِ إِسْلَامًا،
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا " [مسند أحمد: صحيح[
Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya
adalah yang paling baik akhlaknya. [Musnad Ahmad: Sahih]
"Paling dekat dengan aku kedudukannya pada hari kiamat adalah orang
yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap
keluarganya". (HR. Ar-Ridha)
2.
Membina dan
mengarahkan agar manusia memiliki potensi berbuat baik, beriman dan tunduk
kepada Allah, yang selanjutnya disebut dengan bertakwa.
Terdapat dalam sebuah riwayat:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ
الْعَدَوِيِّ قَالَ
سَمِعَتْ
أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ
وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Al Laits dia berkata; telah
menceritakan kepadaku Sa'id Al Maqburi dari Abu Syuraih Al 'Adawi dia berkata;
"Saya telah mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua
mataku ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sabdanya:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan
tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia
memuliakan tamunya, dan menjamunya" dia bertanya; 'Apa yang dimaksud
dengan menjamunya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "yaitu pada
siang dan malam harinya, bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah
bagi tamu tersebut." Dan beliau bersabda: "Barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam."
(HR. Bukhari)[26]
Lebih
jelas, nabi juga menyabdakan:
إن من أخيركم أحسنكم خلقا
"Sesungguhnya
yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Termasuk
dalam kategori ini, pendidikan Islam mengajarkan untuk Menjaga perbuatan dan perkataan
adalah sabda Nabi yang mengatakan:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ
وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا.
وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا
الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ
"Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya.
Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari
kiamat kelak, yaitu tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun". Sahabat
bertanya : "Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan
mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?" Beliau menjawab,"Orang
yang sombong." [HR at Tirmidzi, ia berkata: "Hadits ini hasan".
Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no.
2018]
‘Aisyah
Radhiyallahu 'anha berkata :
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ فَاحِشًا
وَلاَ مُتَفَحِّشًا، وَلاَ صَخَّابًا فِي الأَسْوَاقِ وَلاَ يَجْزِي
بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلكَنْ يَعْفُو وَ يَصْفَحُ
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah seorang yang keji, dan (ia) tidak suka
berkata keji. Beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan
tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka
memaafkan dan merelakan" [HR Ahmad]
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيزانِ
المؤمِنِ يَوْمَ الْقِيامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ ، وَإِنَّ اللَّهَ يَبْغُضُ
الفَاحِشَ البَذيءَ.
رواه
الترمذي وابن حبان في صحيحه
"Tidak
ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari
Kiamat nanti selain akhlak mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang
berbuat keji dan berkata-keta keji." (HR at-Tirmidzi dan Ibn Hibban di
dalam shahihnya)
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ
مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ [صحيح مسلم[
Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan keburukan adalah sesuatu yang
mengganjal di dadamu (hatimu), dan kamu tidak suka jika orang lain
mengetahuinya. [Sahih Muslim]
Menghindari dari pertikaian:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ
الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي
وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي
أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ [سنن أبي داود: حسن[
Saya menjamin sebuah rumah tepi surga bagi orang meninggalkan debat
sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang tidak
berbohong sekalipun hanya bergurau, dan rumah di atas surga bagi orang yang
mulia akhlaknya. [Sunan Abi Daud: Hasan]
3.
Pendidikan
Islam juga bertujuan untuk menyadarkan manusia akan kedudukannya di bumi ini yaitu
sebagai Khalifatullah di muka Bumi.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِيٍّ
أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ
فَقَالَ مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ فَقَالَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ
يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ
الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
Dari Abu Qatadah bin Rabi'i bahwa ia menceritakan bahwasanya; Suatu ketika
iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka
beliau bersabda: "MUTARIIH dan MUSTARAAH." Para sahabat bertanya,
"Wahai Rasulullah, apakah itu MUSTARIIH dan MUSTARAAH?" beliau
menjawab, "Seorang hamba yang mukmin YASTARIH (akan beristirahat) dari
memakmurkan dunia, sementara seorang hamba yang fajir, justru seluruh hamba,
negeri, pepohonan dan binatang melata akan YASTARIH (beristirahat) dari
(kezhalimannya) [Muslim no: 1579]
4.
Mendorong
manusia agar mampu melaksanakan amanah Allah SWT
Jabir
bin Abdillah radiyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah sallallahu 'alaihi
wasallam ketika memulai salat ia bertakbir kemudian membaca ...
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ
وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي
سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
"Sesungguhnya
salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam
tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan dan aku bagian dari
orang Islam, Ya Allah berilah aku amalan yang terbaik dan akhlak yang paling
mulia, tiada yang bisa memberi yang terbaik selain Engkau, dan lindungilah aku
dari amalan dan akhlak yang buruk, tidak ada yang bisa melindungiku dari hal
yang buruk selain Engkau". [Sunan An-Nasa'i: Sahih]
"Jauhilah
segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah
dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling
kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang
mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri
niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati." (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)
5.
Pendidikan
juga bertujuan untuk mendidik manusia agar dapat menjadi makhluk sosial yang
bertanggung jawab pada lingkungan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang
penyayang itu disayangi oleh Allah yang Maha Penyayang. Maka sayangilah yang di
bumi, niscaya yang berada di langit menyayangi kalian”. [HR. Tirmidzi juz 3,
hal. 216, no. 1989, dan ia berkata : Ini hadits hasan shahih]
6.
Mengarahkan
manusia untuk memiliki kemampuan beramal secara optimal dan ihsan dalam
hidupnya
إن الله كتب الإحسان على كل شيئ فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة فإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته
) رواه مسلم(
Dari Saddadi Ibnu Aus Rosululloh
saw. bersabda; “Sesungguhnya Alloh menetapkan supaya berbuat baik terhadap
segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan baik. Apabila kamu
hendak menyembelih, sembelihlah dengan baik dan hendaklah mempertajam pisaunya
dan memberikan kesenangan terhadap binatang yang disembelih. (HR. Muslim).
7.
Untuk mengoptimalkan
potensi yang dimiliki manusia sehingga menjadi makhluk yang pandai bersyukur.
Rasulullah pernah mengingatkan dalam sabdanya;
لَا تَزُولُ
قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا
أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ
وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
"Kedua telapak kaki seorang hamba tidak
akan bergeser pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia
habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia
peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang tubuhnya untuk apa dia
gunakan." (HR.
Tirmidzi)
Dalam pernyataan Rasulullah tersebut di atas terdapat
makna bahwa manusia dituntut untuk memahami bahwa kehidupan yang telah
dirasakanya merupakan kenikmatan yang bukan sekadar bagian dari kejadian dalam
perjalanan hidup yang tanpa arti dan tujuan. Semua nikmat pemberian Allah
merupakan amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Adapun konsekuensi
dari pemberian nikmat adalah dengan bersyukur. Mensyukuri nikmat tentu tidaklah
cukup hanya dengan pengucapan kata di lisan semata. Lebih dari itu syukur
mengandung konsekuensi menggunakan kenikmatan yang diberikan tersebut untuk
menjalankan perintah-Nya, dan bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.[27]
Sebagaimana mata uang, kesyukuran
memiliki pasangan yang tidak bisa dipisahkan yaitu kesabaran. Sabar tercermin
dalam mensikapi segala bentuk kesulitan yang dihadapi di dunia ini dengan
sedapatnya dipahami sebagai sebuah anugerah dan satu sisi lain dari bentuk
nikmat. Sikap sabar seperti ini adalah wujud iman kepada qadha dan qadar,
yaitu penyertaan ridha bersama ketidakberprasangkaburukan, karena kehidupan
manusia merupakan rencana yang telah ditetapkan oleh Dzat yang maha
menciptakan. Menurut Ibn Qayyim sabar dapat digolongkan dalam dua bentuk,
pertama sabar fisik, kedua sabar jiwa. Sabar fisik mencakup dua macam yaitu
sabar fisik yang sukarela seperti merasa sakit dan bersusah-susah dalam
bekerja, dan sabar fisik yang terpaksa yaitu ketika fisik sedang sakit karena
suatu penyakit. Dalam sabar jiwa juga terdapat sabar jiwa yang sukarela seperti
dalam menjalankan syariat, dan terpaksa seperti ketika berpisah dengan orang
yang dicintai.[28]
Al-Asfahani,
sebagaimana dikutip oleh Quraish Sihab menyatakan bahwa kata syukur mengandung
arti ‘gambaran di dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan’.
Pengertian ini diambil dari asal kata syukur (شُكُوْر) yakni kata syakara (شَكَرَ), yang berarti ‘membuka’
sehingga ia merupakan lawan dari kata kafara/kufur (كَفَرَ\كُفُوْر), yang berarti ‘menutup’,
atau ‘melupakan nikmat dan menutup-nutupinya’. Jadi, membuka atau menampakkan
nikmat Allah antara lain di dalam bentuk memberi sebahagian dari nikmat itu
kepada orang lain, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat kikir.[29]
Oleh karenanya, seorang mukmin
sejati akan meyakini pernyataan nabi, bahwa tidak ada musibah yang menimpa
seorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya melainkan akan menghapuskan
dosanya apabila ia mau bersabar. Mampu bersyukur dan bersabar adalah termasuk
bentuk realisasi seseorang yang memahami tanggung jawabnya. Makna seperti
pengertian tersebut sebagaimana Rasulullah sampaikan, “Sungguh menakjubkan
keadaan orang beriman itu, segala urusan baginya selalu baik. Dan hal itu tidak
akan terjadi kecuali pada orang beriman. Ketika ia diberi nikmat dia bersyukur,
itulah kebaikan untuknya, dan jika ditimpa musibah ia pun bersabar, itulah
kebaikan untuknya”. (HR. Muslim)
[1] Badiatul Muchlisin Asti, Tidak Semua Syahadat Diterima Allah,
Mutiara Media, hlm.77
[2] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis,
Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2004, hlm.28
[3] Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Tafsir as Sa’di, cet;1,
Beirut: Muassasah Ar Risalah, 2002, hlm.813
[4] Lihat pandangan ini
dalam Filsafat Pendidikan Islami karya Prof. Ahmad Tafsir. Ia mengemukakan
pandangan bahwa “tujuan pendidikan adalah hal pertama dan terpenting bila
kita merancang, membuat program, serta mengevaluasi pendidikan. Program
pendidikan 100% ditentukan oleh rumusan tujuan.”Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosda Karya, 2012, hlm: 75
[5] Dedeng Rosyidin, Konsep Pendidikan Islam Formal Bandung:Pustaka
Nadwah, 2009, hlm. 105
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka, 2002, hlm.263
[7] Nuansa Aulia, Himpunan Perundang-undangan, hlm.10-11, Dalam
Dedeng Rosyidin hlm.18-19. Selain itu, para ahli dibidangnya juga menawarkan
definisi-definisi tentang pendidikan. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan
adalah “bimbingan atau didikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang
utama”. (Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1989, hlm.19). Sementara menurut Ki Hajar Dewantoro, pendidikan
yaitu “tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak
menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya”. (Abu Ahmad dan Nur Ukhbiyati, Ilmu
Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm.69) Selanjutnya,
definisi-definisi tersebut dapat diverbalisasikan dalam sebuah definisi yang
komprehensif bahwa “Pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar
yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek
perkembangan kepribadian baik jasmani maupun rohani, secara formal, informal
maupun non formal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kebahagiaan dan
nilai yang tinggi, baik nilai insaniyah maupun ilahiyah”. (H.M. Suyudi, Pendidikan
Dalam Perspekif Al-Qur’an: Integrasi Epistimologi, Bayani, Burhani dan Irfani, Yogyakarta:
Mikraj, 2005, hlm.54)
[8] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam.
Bandung: Mizan. 1984. cet. Ke-1. hlm. 60.
[9] Dalam pengertian ayat tersebut di atas, Ibn Katsir menyatakan bahwa
terdapat hadits nabi yang memerintahkan ayah untuk menyuruh anaknya mengerjakan
shalat ketika usianya mencapai tujuh tahun, dan memukulnya jika sepuluh tahun
anak tersebut masih tidak mau mengerjakannya. Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al
Quran al Adzim, Juz-XIV, Cairo: Maktabah al Aulad as Syaikh Li at Turats,
Cet-I, 2000, hlm.58-59
[10] Abd ar-Rahman Nashir as-Sa’di, Tafsir al-Karim ar-Rahman fii Kalaam
al-Manaan, cet.1, Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 2002, hlm.874
[11] Mahfud Juanidi, Konsep Tujuan Pendidikan Islam (Telaah Komparatif
terhadap Pasal 4 Bab II UU RI No 2 Tahun 1989) dalam Paradigma Pendidikan Islam,
Semarang: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 2001, hlm.199-201
[12] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani, Fathul Qadir juz’ 2,
Beirut: Darul Ma’rifah, 1997. Hlm.267
[13] Allah ta’ala berfurman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” sesungguhnya kerusakan tanaman
pangan dan buah-buahan itu disebabkan oleh aneka kemaksiatan. Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani,
1999, hlm.771
[15] Muhammad
bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani, Fathul Qadir juz’ 4, Beirut:
Darul Ma’rifah, 1997. hlm.285
[16] `Abdurrahmaan as Sa`diy, Taisiirul Kariimir
Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, (Tafsir online
di: http://www.al-eman.com/
).
[17] (annahu I’taqada anna lâ syai’a ahammu lil insâni
min tahdzîbi akhlâqihi qablal khaudhi fîmâ warâ’a dzâlika) Saintlânâ, Târîkhul
Madzâhib al Falsafiyyah, Juz I, hlm. 174 dalam al Falsafah al
Akhlâqiyyah al Aflâthûniyyah ‘inda Mufakkiril Islâmî, Dr. Nâjî at Takrîtî,
2007, Darul Andalus, Beirut, hlm.17
[18] Abu Abdirrahman al Khalil bin Ahmad al Farahidi, Kitâbul
‘Ain, Tahqiq: Dr. Mahdî al Makhzûmî dan Dr. Ibrâhîm as Sâmirâ’î, Dar dan
Maktabah al Hilâl, Juz IV, hlm. 151
[19] Terkait bahwa makna al khulqu adalah ad dîn,
selain disebutkan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisânul ‘Arab, Fairuz Abadi
juga menyebutkan makna ini. Fairuz Abadi mengatakan: “I’lam annad dîna
kullahu khuluqun fa man zâda ‘alaika fil khuluqi zâda ‘alaika fid dîn.” (Ketahuilah
bahwa semua (syariat) agama adalah akhlak, maka siapa saja yang menambah
akhlakmu berarti dia menambah agamamu). (Bashâir dzawit tamyîz, juz II, hlm.
568).
[20] Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al Afriqi al Mishri,
Lisânul ‘Arab, Daru Shâdir, Beirut, Cet. I, Juz X, hlm. 85.
[21] (’Ibâratun ‘an haiatin fin nafsi râsikhatin, ‘anha
tashdurul af’âl bi suhûlatin wa yusrin min ghairi hâjatin ila fikrin wa
rawiyyatin, fa in kânatil hai’ah bi haitsu tashduru ‘anhal af’âl al jamîlah al
mahmûdah ‘aqlan wa syar’an summiyat tilkal hai’ah khuluqan hasanan, wa in
kânash shâdir ‘anhal af’âl al qabîhah summiyatil hai’ah al latî hiyal
mashdar khuluqan sayyi’an ) Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al Ghazali, ibid.
[24] Abdurrahman Hasan Habnakah al Maidani, al Akhlâq al
Islâmiyyah wa Ususuhâ, Cet. I, 1399 H/ 1979 M, Darul Qalam, Damaskus, Juz
I, hlm. 7
[25] Disamping akhlak, ada kata padanan yang hampir sama,
yaitu moral dan etika. Ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Moral
berasal dari bahasa latin yaitu mos, yang berarti adat istiadat yang menjadi
dasar untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk. Jadi, sebuah
perbuatan dianggap baik atau buruk secara moral hanya bersifat lokal. Sedangkan
akhlak adalah tingkah laku baik, buruk, salah benar, dimana penilaiannya
dipandang dari sudut hukum yang ada di dalam ajaran agama. Perbedaan dengan
etika, yakni etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang
manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Dari penjelasan tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, dan akhlak
adalah tingkah laku manusia. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak pada hari Ahad, 8 Januari 2012 pukul 13:28 WIB
[26] Bukhori No: 5560
[27] Ibn Qayyim membagi landasan-landasan dalam syukur atas lima
bagian: (1) Tunduk kepada yang memberi nikmat, (2) Cinta kepadanya, (3)
Mempunyai kesadaran untuk menyatakan bahwa nikmat itu datang hanya dari Allah
swt, (4) Senantiasa memuji Allah atas anugrah-Nya, (5) Melakukan segala
aktifitas yang hanya diridhai-Nya dan tidak melakukan maksiat. Berdasarkan
perkataan ulama yang di antaranya الشكر
ترك المعاصي
“Bersyukur adalah meninggalkan maksiat” dan juga الشكر هو الا تستعين بشيء من نعم الله على معاصيه “Syukur adalah agar kamu tidak menggunakan
sesuatu apapun dari nikmat-nikmat Allah untuk keperluan bermaksiat kepada-Nya.”
Lihat, Royyad Al Haqil, Mensyukuri Nikmat Allah Bagaimana Caranya?,
Jakarta: Gema Insani Press, 1992, hlm.33-35
[28] Ibn Qoyyim al Jauziah, Sabar Adalah Perisai Seorang Muslim,
Jakarta: Pustaka Azzam, 1420 H, hlm.29
Komentar
Posting Komentar