Sejarah dan Tokoh Pendidikan Islam
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Pendahuluan
Alasan yang dapat dikatakan sangat penting untuk
dikemukakan, mengapa nama Syed Muhammad Naquib al-Attas ini begitu sentral
dalam khazanah keilmuan pendidikan Islam kontemporer, adalah karena gagasannya
yang sangat fundamental terkait dengan masalah islamisasi ilmu. Al-attas, atau
biasa disebut SMN al-Attas adalah sosok
yang dikenal tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada
pendidikan dan persoalan umum umat Islam saja, tetapi juga pakar dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Ia bahkan disebut sebagai tokoh penggagas Islamisasi
ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh islamisasi lainnya, seperti
Isma’il Raji al-Faruqi. Ia juga secara sistematis merumuskan strategi
Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.
Setelah melalui perenungan yang cukup
panjang, akhirnya, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan figur pembaru (person of reform) dalam bidang pendidikan
Islam era ini, sampai pada satu kesimpulan bahwa kemunduran umat Islam saat ini
adalah berpusat pada masalah pendidikan. Problem mendasar kemunduran pendidikan
umat Islam tersebut tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan
dengan ilmu pengetahuan yang telah rusak (corruption of knowledge)
karena disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporandakan oleh pandangan
hidup sekuler (Barat). Dengan sangat
tegas, ia menyampaikan dalam bukunya, Islam dan Sekularisme:
Saya berani mengatakan
bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah
tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang
difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu
telah bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari
pemahaman yang tidak adil.[1]
Selanjutnya SMN al-Attas juga
menjelaskan beberapa hal, sebagai contoh kekacauan yang terjadi akibat dari
penyikapan yang salah terhadap ilmu. Di antaranya adalah penempatan tidak
semestinya (dzulm) terhadap hal yang pasti kebenarannya (haq),
dalam hal ini, otentisitas al Quran sebagai kalam Allah misalnya. Kebenaran
agama yang asasi dipandang oleh Barat sebagai teori belaka, atau ditolak terus
hanya sebagai bayangan yang tidak berguna. Akhirnya, nilai yang mutlak ditolak
sedangkan nilai relatif mereka pegang teguh.
Menurut al-Attas, melalui pemukulrataan
(generalisasi) “metodologi penelitian ilmiah” produk tawaran mereka (Barat
Sekuler) – yakni doubt method atau metode keraguan yang digunakan sebagai
sarana epistimologi untuk mencapai kebenaran – maka akan menghasilkan Ilmu yang
seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam
kehidupan manusia. “Ilmu” yang diraih dari cara tersebut adalah ilmu yang telah
kehilangan ruhnya (corrupt). Nilai (value) yang hendak ditanamkan
agama pun tidak akan terbaca dengan jelas dan kabur karena memang Barat, yang
dalam rumusan pandangan hidupnya terhadap kebenaran dan realitas bukan
berdasarkan bimbingan wahyu namun hanya berdasarkan pada tradisi kebudayaan
yang diperkuat oleh dasar filosofis, dimana dasar ini berangkat dari dugaan (spekulasi),
selalu beranggapan bahwa tidak ada yang pasti dalam semua hal kecuali kepastian
bahwa semua itu tidak pasti. Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban
Barat seperti ini, terang al-Attas, adalah berangkat dari penghapusan
keterpesonaan terhadap agama karena kecintaan yang berlebihan dan menyimpang
kepada kehidupan dunia dan kehidupan sekuler.[2]
Sebagai solusi dari kekacauan terhadap
ini semua maka al-Attas menawarkan konsep Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan.
Berangkat dari paradigma bahwa ilmu itu tidak netral, al-Attas bermaksud
menyadarkan bahwa diperlukan sikap kehati-hatian dalam proses penyerapan ilmu
yang diterima dari peradaban Barat. Hal demikian jelas karena worldview
(pandangan alam) yang dimiliki Barat – yakni worldview yang dibangun dan
berkembang dari percampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai
(keyakinan) antara Yunani dan Romawi, Kristen dan Yahudi – dalam pandangan
al-Attas, memainkan peranan sangat besar dalam penafsiran dan perumusan ilmu. Oleh
karenanya, Islamisasi ilmu yang dimaksud dalam perspektif al-Attas adalah
pembebasan manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan
kuasa sakti (magic), mitologi, animisme, kebangsaan kebudayaan yang
bertentangan dengan Islam, dan selanjutnya pembebasan dari kungkungan sekuler
terhadap akal dan bahasa. Jadi, manusia Islam (muslim), dalam pandangan
al-Attas adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kuasa
sakti, mitologi, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekulerisme.[3]
Dalam
konferensi internasional pendidikan Islam pertama yang diadakan di Mekah
pada tahun 1977 yang berhasil mengumpulkan para pakar Islam (cedekiawan muslim)
sebanyak 313 dari penjuru dunia, Al-Attas melemparkan gagasan tentang
islamisasi ilmu tersebut. Dari sanalah gagasan itu terus bergulir hingga saat
ini. Oleh karenanya, melalui pemusatan perhatiannya pada permasalahan pengislaman
atas ilmu dalam rangka meluruskan kembali proses pendidikan ini, al Attas dapat
digolongkan ke dalam sosok pemikir pendidikan yang bercorakkan islami, artinya
bahwa pendidikan yang dibangun olehnya mengacu dan mendasarkan pada asas Islam
sebagai pijakan berfikir dan bertindak.
Al Attas memandang sebuah pendidikan
sebagai bagian paling sentral dari dakwah Islam Nabi Muhammad. Hal demikian,
menurutnya, karena Islam yang sebagaimana diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi
tidaklah mungkin dapat dilaksanakan dengan baik tanpa memahami masalah
pendidikan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, pengajaran Nabi
Muhammad akan Islam berupa akhlak yang mulia, sebagaimana yang ditegaskan
sendiri oleh beliau dalam salah satu haditsnya “aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”, merupakan inti dari pendidikan menurut Islam. Sehingga,
seorang muslim yang sejati adalah ia yang ujungnya menjadi manusia berakhlak
atau juga dengan makna yang sama
diungkapkan dengan istilah beradab. Yaitu memahami akhlak kepada penciptanya,
Allah, Nabi dan risalah Islam yang sisampaikannya, termasuk dalam hal ini,
memahami akhlak untuk memahami ajaran Islam itu sendiri serta berakhlak kepada
manusia dan seluruh makhluk yang ada.
B. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas
1.
Kelahiran
dan Keluarganya
Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn
Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, Indonesia
pada tanggal 5 September 1931 dimana pada waktu itu, Indonesia masih berada di
bawah kolonialisme Belanda. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas,
sedangkan ibunya bernama Syarifah Raquan al-Aydarus. Melihat garis keturunannya,
dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan ‘bibit unggul’
dalam percaturan perkembangan intelektual Islam di Indonesia dan Malaysia.
Dalam sejarah kerajaan Islam Nusantara atau
Semenanjung Malaka, pada waktu itu merupakan suatu hal yang biasa jika seorang
ulama besar dari Timur Tengah mempersunting anggota keluarga kerajaan, dan Naquib
al-Attas adalah buah dari hasil pernikahan seperti itu. Latar belakang keluarga
ini menunjukkan bahwa Naquib al-Attas memang bukan datang dari kelompok
sosio-kultural biasa, akan tetapi dari kaum ningrat. Dalam dirinya mengalir
tidak saja darah biru namun semangat dan emosi keagamaan yang luhur akan
kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam dunia tasawwuf.[4]
Faktkor inhern keluarganya inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar
dalam dirinya.
Ditilik dari kedua belah pihak, baik ayah
maupun ibunya, mereka merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunda Naquib al-Attas
yang asli dari Bogor itu masih keturunan bangsawan (kerabat raja-raja) Sunda
Sukapura Jawa Barat.[5]
Sedangkan dari pihak sang ayah, beliau masih tergolong bangsawan di Johor,
bahkan berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawwuf
yang terkenal dari kalangan Sayyid.[6]
Jika dilacak melalui silsilah “Sayyid” dalam keluarga Ba’dawi di Hadramaut,
maka akan sampai kepada Imam Husein, cucu nabi Muhammad SAW. Ini didasarkan
kepada silsilah resmi keluarga Naquib Al-Attas yang terdapat dalam koleksi
pribadinya. Dimana dalam silsilah tersebut terlihat beliau adalah keturunan
ke-37 dari Nabi Muhammad SAW.[7]
Di antara leluhurnya pun ada yang
menjadi ulama besar bahkan dianggap wali. Salah seorang di antaranya adalah
Syed Muhammad al-Aydarus (dari pihak ibu), guru dan mursyid Syed Muhammad Hafs
‘Umar bin Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nuruddin Ar Raniri, salah
seorang ulama terkemuka di dunia Melayu, ke Tarekat Rifa’iyyah. Dari
pihak ayah, kakek Naquib Al-Attas yang bernama Syed Abdullah Ibn Muhammad
Al-Attas adalah juga seorang ulama, bahkan juga dianggap wali, yang pengaruhnya
tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga ke Negara Arab.[8]
Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak
kedua dari tiga bersaudara, yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli
sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu
bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan seorang dosen Institut
Teknologi MARA.[9]
2.
Pertumbuhan
Intelektualnya
Ketika berusia 5 tahun, Naquib al-Attas diajak
orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di sini, Naquib al-Attas dimasukkan dalam
pendidikan dasar Ngee Heng Primary School Johor sampai usia 10 tahun
(1936-1941). Selama di Johor, ia tinggal bersama pamannya, Ahmad, kemudian
dengan bibinya, Azizah. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni
ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Naquib al-Attas dan keluarga kembali pindah
ke Indonesia. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Urwah al-Wusqa,
Sukabumi selama tahun 1942-1945, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan
Bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Di tempat ini, Naquib al-Attas mulai
mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat.
Hal ini bisa dipahami, karena pada saat itu di Sukabumi telah berkembang
perkumpulan Tareqat Naqsabandiyah.[10]
Setelah Perang Dunia II meletus pada tahun 1946,
Naquib al-Attas kembali ke Johor untuk melanjutkan pendidikannya di Bukit
Zahrah School dan selanjutnya di English College Johor pada tahun 1946-1951.[11]
Pada masa ini, ia tinggal bersama salah seorang pamannya yang bernama Ungku
Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala
Mentri Johor Modern yang keenam.[12]
Di dalam lingkungan kaum ningrat ini, Naquib al-Attas mengenyam sistem
pendidikan modern.
Setelah menamatkan sekolah menengah pada tahun
1951, Naquib mendaftar di sebuah resimen Melayu sebagai kadet. Kecemerlanganya
dalam dunia militer ini membuat ia dipilih oleh Sir Gerald Templer, pejabat di British
High Commissioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer di empat
tempat, yaitu di (1) Eton Hall, (2) Chester, (3) Wales, kemudian di (3) Royal
Millitary Academy, Sandhurst, Inggris pada 1952. Di Sandhurst ini jugalah, Naquib
Al-Attas berkenalan untuk yang pertama kalinya dengan pandangan metafisika tasawwuf,
terutama dari karya-karya Jami yang tersedia di perpustakaan kampus.[13]
Selain mengikuti pendidikan militernya di
Inggris, Naquib Al-Attas juga sering pergi ke negara-negara Eropa lainnya
seperti Spanyol dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat terkenal
dengan tradisi intelektual, seni dan gaya bangunan keislamannya. Ketika Afrika
Utara, Naquib Al-Attas sempat berjumpa dengan sejumlah pemimpin Maroko
yang sedang berjuang merebut kembali kemerdekaan
mereka dari tangan Perancis dan Spayol, seperti Alal al-Fasi, al-Mahdi
Bennouna, dan Sidi Abdallah Gannoun al-Hasani.[14]
Setelah menyelesaikan studinya pada Royal
Militery Academy Sandhurst Inggris tahun 1955, dengan pangkat terakhir sebagai
Letnan,[15]
Naquib Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Federasi
Malaya yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di
hutan. Namun tidak lama di sini, minatnya yang dalam untuk menggeluti dunia
ilmu pengetahuan mendorongnya untuk berhenti dari kepegawaiannya kemudian membawanya
melanjutkan studi di Departemen Social Sciences Studies di Universitas Malaya
(UM) Singapura selama 2 tahun, yakni pada tahun 1957-1959.[16]
Ketika masih mengambil program S-1 di
Universitas Malaya ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah menulis dua buah buku.
Buku pertama adalah rangkaian Ruba’iyat. Sedang buku keduanya adalah “Some
Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays” yang
diterbitkan di Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Selama
menulis buku yang kedua, demi memperoleh
bahan-bahan yang diperlukan, Al-Attas menjelajahi seluruh
Malaysia dan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi
agar bisa mengetahui ajaran dan praktik
tasawwuf mereka.[17]
Sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga pada 1959 pemerintah Kanada
melalui Canada Council Fellowship, memberinya beasiswa. Al-Attas lalu belajar
selama 3 tahun di Institut of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal Canada
yang didirikan Wilfred Cantwel Smith. Di sini, dia berkenalan dengan beberapa
tokoh intelektual yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlul
Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr (Iran). Dalam waktu yang relatif singkat, terhitung sejak 1960 hingga 1962, ia
berhasil menggondol gelar master (M.A) serta memperoleh nilai yang sangat memuaskan, cum laude
dalam bidang teologi dan metafisika Islam, setelah
mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th Centhury
Acheh.[18] Alasan mengapa mengambil judul tersebut adalah karena ia ingin membuktikan
bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di
kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya Islam sendiri.[19]
Setahun kemudian atas dorongan beberapa
sarjana dan tokoh-tokoh orientalis yang terkenal, Naquib Al-Attas pindah ke
SAOS (School of Oriental and African Studies), Universitas London, untuk
meneruskan pendidikan Doktornya. Pada 1965, dia memperoleh gelar Ph.D setelah
dua jilid disertasi doktornya yang berjudul “The Mysticism of Hamzah Fanshuri”
lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[20]
Tidak lama kemudian, pada tahun 1963-1964
melalui sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British
Academy ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di School of Oriental
and African Studies, University of London, yang oleh banyak kalangan
dianggap sebagai pusat kaum orientalis.[21]
Sebagai catatan penting bahwa selama menjadi
mahasiswa, terutama di McGill dan di London, al-Attas sangat aktif dalam
mengoreksi pandangan negatif yang ditujukan pada Islam. Selain itu, ia juga
terlibat dalam kegiatan dakwah dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang
murni. Atas rahmat dan petunjuk Allah swt, kegiatan dakwah ini berhasil menyadarkan
beberapa orang sehingga mereka mau memeluk agama Islam.[22]
Setelah lulus pada 1965, Al-Attas
kembali ke Malaysia. Beliau termasuk dari sedikit orang Malaysia yang
memperoleh gelar Philoshophy of Doktor. Al-Attas dilantik menjadi ketua jurusan
di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya Kuala Lumpur. Dari 1968 sampai
1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Selama
menjabat di kampus tersebut, Al-Attas berusaha memperbaharui struktur akademis
fakultas dan jurusan-jurusan lain yang sefakultas sehingga mereka tidak
berjalan sendiri-sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dia juga yang berjasa dalam upaya
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Al-Attas berusaha mengganti
pemakaian bahasa Inggris yang sebelumnya menjadi bahasa
pengantar dan juga mempelopori Fakultas Ilmu dan Islam. Usaha tersebut
dilakukan pada 1970 dalam kapasitasnya sebagai seorang pendiri senior UKM.
Pada tahun 1970 dan dalam kapasitasnya
sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu, Al-Attas telah mengajukan
konsep dan metode baru kajian bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu. Konsep dan
metode tersebut dapat digunakan untuk mengkaji peranan dan pengaruh Islam serta
hubungan dengan bahasa dan kebudayaan lokal dan internasional dengan cara yang
lebih baik. Untuk merealisasikan rencana ini, pada tahun 1973 dia mendirikan
dan mengepalai IBKKM (Institut Sastra, Bahasa dan Kebudayaan Melayu) di UKM.
Kepakaran Al-Attas dalam berbagai
bidang ilmu sudah diakui di kalangan internasional. Al-Attas sering mendapatkan
penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari pakar
peradaban Islam dan Melayu misalnya Al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi
panel mengenahi Islam di Asia Tenggara pada Conggres International
des Orientalistes yang ke 29 di Paris pada tahun 1973.
Pada 1975, ia dilantik sebagai anggota Imperial
Iranian Academy of Philosophy (IIAP) atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat.
IIAP adalah sebuah lembaga yang anggotanya terdiri dari beberapa orang
professor yang terkenal, seperti Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr dan
Toshihiko Izutsu.
Diapun pernah menjadi konsultan utama
penyelenggaraan Festival Islam International (World of Islam Festival)
yang diadakan di London pada tahun 1976, sekaligus menjadi pembicara dan utusan
dalm Konferensi Islam Nasional (International Islamic Conference)
yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
Al-Attas juga menjadi pembicara dan peserta
aktif dalam Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam (First World
Conference on Islamic Education) yang dilangsungkan di Mekkah pada tahun
1977. Dia ditunjuk memimpin komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan
Islam.
Dari 1976 sampai 1977, dia menjadi
professor tamu (Visitting Professor) untuk studi Islam di Universitas
Temple di Philadelpia. Pada 1978, dia diminta UNESCO untuk memimpin pertemuan
para ahli sejarah Islam yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah.
Tahun 1978, dia mendapatkan anugerah
medali seratus tahun meninggalnya Sir Muhammad Iqbal dari Presiden Pakistan,
Jenderal Muhammad Ziaul-Haq.
Dia pernah menjabat sebagai ketua
lembaga Tun Abdur Rozak untuk studi Asia Tenggara (Tun Abdur Razak chair of
South East Asian Studies) di Universitas Amerika, untuk periode 1980-1982.
Al-Attas adalah pendiri sekaligus rektor ISTAC (International
Institut of Islamic Though and Cavilization) Malaysia sejak tahun
1987.
a. Buku dan Monograf
Al-Attas telah menulis 26 buku dan
monograf, baik bahasa Inggris maupun bahasa Melayu dan banyak yang
diterjemahkan kedalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu,
Malaya, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania. Karya-karyanya tersebut adalah:
1)
Rangkaian
Rubi’iyah, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur, 1959.
2)
Some
Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays, Malaysia Sociological Research Institute, Singapura 1963.
3)
Raniri and
The Wujudiyyah of 17th Centure Acheh, Monograph of The Royal Asiatic Society, cabang Malaysia, No, III, Singapura, 1966.
4)
The Origin
of The Malay Syair, DBP, Kuala Lumpur, 1968.
5)
Preliminary
Statement One General Theory of The Islamization of The Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
6)
The
Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya
Press, Kuala Lumpur 1970.
7)
Concluding
Postcript to The Origin of The Malay Sya’ir, DBP,
Kuala Lumpur 1971.
8)
The
Correct Date of The Terengganu Inscription,
Museums Departement, Kuala Lumpur, 1972.
9)
Islam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
10)
Risalah untuk
Kaum Muslimin, Monograf yang belum diterbitkan, 186 hlm., ditulis antara
Februari-Maret 1973, (Buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC
pada 2001-penerja).
11)
Commenst
on The Re-examination of Al-Raniri’s Hujjatun
Al-Shiddiq: Arefitation, Musems Departemen, Kuala Lumpur,
1975.
12)
Islah The
Concept Of Religion and The Foundation of Ethics
and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia, (ABIM), Kuala Lumpur, 1976.
13)
Islam, Pahan
Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur.
14)
Islam and
Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
15)
Anas and
The objectives of Islamic Education: Islamic
Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University,
London, 1979.
16)
The
Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur,
1980.
17)
A
Commentary On The Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din
Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
18)
The Oldest
Known Malay Manuscript A 16th Century Malay Translation
of The A’qoid of Al-Nafasi, Dept. Penerbitan University Malaya, Kuala
Lumpur, 1990.
19)
Islam and
The Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989.
20)
The
Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC,
Kuala Lumpur, 1993.
21)
Prolegomena
to The Metaphysicsof Islam: An Exposition of The
Fundamental Elements of The Word View of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995.
22)
Historical
Fact and Fiction, UTM, Kuala Lumpur, 2011
b. Artikel
Selain buku dan monograf, Al-Attas juga
menulis banyak sekali artikel. Adapun artikel-artikel yang ditulis Al-Attas
adalah antara lain sebagai berikut:
1)
“Note on
The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of
The Malaya Branch of The Royal Asiatic Society (JMBRAS), VOL 38, Pt
1, Singapura, 1965.
2)
“Islamic
Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala
Lumpur, 1996.
3)
“New Light
on The Life of Hamzah Fanshuri”, JBRAS, vol. 40, Pt, 1, Singapura, 1967.
4)
“Rampaian
Sajak’, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu University Malaya no. 9, Kuala Lumpur,
1968.
5)
“Hamzah Fanshuri”,
The penguin Companion to Literature, Classikal and Byzantine,
Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.
6)
“Indonesia:
4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,
edisi baru, EJ. Briil, Leiden, 1971.
7)
“Comperative
philosopy: A Southeast Asian Islam View Point”, Acts of The Fee
International Congres of medieva Philosophy, Madrid-Cordova-Granada,
5-2 September 1971.
8)
“Konsep Baru
mengenai Rencana serta Caragaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa,
Kesusastaraan, dan Kebudayaan Melayu”, buku panduan Jabatan Bahasa dan
Kesusastraan Melayu, University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur: 1972.
9)
“The Art
of Writing, Dept Museum”, Kuala lumpur, t.t. 10. “Perkembangan Tulisan
Jari Sepintas Lalu’, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
10)
“Nilai-nilai
Kebudayaan, Bahasa, dan Kesustraan Melayu”, Asas Kebudayaan Kebangsaan,
Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973.
11)
“Islam in
Malaysia”, (versi bahasa jerman), kleines lexicon der Islamichen welt,
ed. K. Kreiser awa. Akakolhlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974.
12)
“Islam in
Malaysia’, Malaysia Panorama, edisi special, Kementrian Luar Negeri Malaysia,
Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Perancis.
13)
“Islam dan
Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, Seri Kedua, Kementrian
Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.
14)
“Pidato
Penghargaan terhadap ZAABA’, Zinal Abidin ibn Ahmad, Kementrian Kebudayaan,
Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
15)
“A General
Theory of The Islamization of The Malay Archipelago’, Profiles of
Malay Culture, Historiography, Religion, and Politics, editor Sartono
Kartodiharjo, Menteri Pendidikan Kebudayaan Jakarta, 1976.
16)
“Preliminary
thoughts on The nature of Knowledge and Definition and Aims of Education”,
First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia
dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
17)
“Some
Reflections on The Philosophical aspect of Iqbal’s Thought”, International
Congress on The Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977.
18)
“The
Concept of Education in Islam: it is Form, Method and Sistem of
Implementat On”, World Symposium of al-Isro; Amman, 1979.
Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab.
19)
“ASEAN-Kemana
Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”, Diskusi, jilid 4, no. 11-12,
November-Desember, 1979.
20)
“Hijrah: Apa
Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
21)
“Knowledge
and non-Knowledge”, Readings in Islam, no. 8, first quarter,
Kuala Lumpur, 1980.
22)
“Islam dan
Alam Melayu”, Budiman. Edisi special memperingati abad ke 15 hijriah,
University Malaya, Desember 1979.
23)
“The
Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim
Education, Islamabad, 1980.
24)
“Preliminary
Thoughts on Islam Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia:
1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab.
25)
“Religion
and Secularity”, Congress of The World’s Religions, new york, 1985.
26)
“The
Corruption of Knowledge”, Congress of The Word’s Religions,
Istambul, 1985.
Dari
karya-karya gemilang beliau menunjukkan akan kepakarannya dalam
berbagai disiplin ilmu. Namun yang lebih menonjol terlihat dalam kefilsafatan
yang beliau miliki, dimana dengan dalamnya pemahaman filsafatnya ini beliau
mampu merumuskan pendidikan dengan mengkaitkan permasalahan kemunduran umat
Islam dengan pendidikan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan yang diharapkan
oleh islam.
C. Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas
1.
Dasar
Pemikiran Pendidikan
Al-Attas menilai bahwa dalam ilmu
pengetahuan Barat modern-sekuler terkandung “virus” yang sangat berbahaya bagi
kaum muslimin saat ini. Karena, dalam pandangannya, peradaban Barat modern
telah membuat ilmu menjadi problematis. Hal inilah yang kemudian oleh al-Attas
dinyatakan sebagai penyebab kekacauan
ilmu (confussion of knowledge) dan ketiadaan adab dari masyarakat. Selanjutnya,
akibat dari kedua hal tersebut adalah munculnya pemimpin yang bukan saja tidak
layak memimpin umat, tetapi juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan
kapasistas intelektual dan spiritual mencukupi, yang sangat dibutuhkan dalam
kepemimpinan Islam ketika mereka memimpin. Ketiga permasalahan ini –kekacauan
ilmu, ketiadaan adab dan pemimpin berikutnya yang tidak kompeten – akan menjadi
lingkaran setan yang tidak terputus.[25]
Selain telah salah memahami makna ilmu,
peradaban Barat, dalam proyeksi al-Attas, juga telah menghilangkan maksud dan tujuan
ilmu. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa peradaban Barat telah menghasilkan
ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan
dalam kehidupan manusia. Kesimpulan Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil
dari kebingungan dan skeptisisme.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
dalam pendahuluan, Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan (doubt) dan
dugaan (spekulasi) ke tahap metodologi ilmiah. Tidak hanya sampai disitu,
Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai epistemologi yang sah dalam
keilmuan. Akar dari ini semua adalah karena westernisasi ilmu tidak dibangun di
atas wahyu dan kepercayaan agama. Melainkan dibangun di atas tradisi budaya
yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler
yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
berubah (relative).
Sedikitnya ada lima faktor, menurut al-Attas,
yang menjiwai tumbuh dan berkembangnya peradaban Barat: (1) akal diandalkan
untuk membimbing kehidupan manusia; (2) besikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup
sekuler; (4) membela doktrin humanisme; dan (5) menjadikan drama dan tragedi
sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[26]
Berangkat dari kerancuan ilmu dalam
pandangan Barat itu, sehingga Al-Attas memulai langkah awal untuk melakukan
islamisasi dengan merumuskan kembali konsep pendidikan dalam pandangan Islam,
konsep yang dimaksud adalah ta’dib. Pendidikan dalam pandangan Al-Attas
adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang yang disebut dengan ta’dib.
Alasan yang dikemukakan oleh Al-Attas ketika memaknai pendidikan Islam dengan ta’dib
karena konsistensi perhatiannya terhadap akurasi dan autentitas dalam memahami
ide-ide dan konsep-konsep Islam. Menurutnya, disebabkan oleh perubahan yang
sangat mendasar dalam penggunaan istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib
yang berbeda dari yang selama ini dipakai dan dipahami orang. Masih banyak yang
menyangka jika tarbiyah, ta’lim dan ta’dib satu makna
padahal beda.
Ta’lim menurutnya
hanyalah pengajaran biasa yang tidak memerlukan aspek-aspek pendidikan, sedang tarbiyah
lebih umum, dapat dipakai untuk mengasuh manusia sekaligus binatang, sedang ta’dib
lebih sempurna, karena sudah mencakup pengajaran, pendidikan dan penanaman
akhlak mulia dan lebih khusus untuk manusia. Dengan ta’dib manusia
sempurna (al-insan al-kamil) dapat terwujud sebagaimana sifat-sifat dan
tingkah laku yang ada pada diri Rasulullah melalui ta’dib dari Allah.
Al-Attas mengatakan:
Kehilangan adab
tidak hanya membawa maksud kehilangan ilmu; ia juga bermaksud kehilangan upaya
dan kemampuan untuk mengenali dan mengakui para pemimpin yang sejati.[27]
2.
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan
Memahami alur konsepsi al-Attas tentang
pendidikan, terkait erat dengan pandangan-pandangan yang secara otomatis
melandasi pemikiran pendidikannya. Secara proporsional al-Attas memandang
manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi, jasadiah dan ruhiyah.
Menurut al-Attas, dalam penciptaannya, ruh telah menjadi sempurna namun ketika
menyatu dengan raga/jasad, ia menjadi kolaborasi yang tidak lagi sempurna. Kata
al insan, dari bentukan kata nisyan menjadi kata kunci bagi
al-Attas dalam menjelaskan sifat dasarnya yang alpa. Menurutnya penyebutan
manusia (al insan) bermula karena setelah diambil sumpahnya (QS. al A’raf: 177)
ia lantas melupakannya. Dengan sifat dasarnya ini, manusia berpotensi untuk
melakukan hal-hal seperti bodoh (jahl) tidak adil (dzulm), dan
salah (khata’), bahkan ingkar (kufr).
Keadaan inilah yang kemudian menurut
al-Attas perlu difahami sebagai pijakan berpikir mengenai hakikat mempelajari
ilmu serta tujuan mendapatkannya bagi hidup manusia. Hal mana, kesimpulan yang
didapatkan dari perenungan ini adalah, bahwa belajar ilmu (pendidikan) adalah
satu upaya untuk mengembalikan keadaan manusia kepada keadaan sempurna (kamil).
al-Attas menegaskan bahwa ilmu semuanya
datang dari Allah. Dan ilmu, dalam pandangan al-Attas merupakan satu sifat yang
sangat penting bagi jiwa. Menurutnya, ilmu dapat diklasifikasikan seperti
keadaan manusia yang dwi hakikat (jiwa & raga). Dengan demikian, ilmu juga
memiliki dua hakikat, ilmu (hidangan) bagi jiwa, yaitu ilmu syar’i yang
selanjutnya disebut ilm fard ‘ain, dan yang kedua ilmu (bekal) manusia
memenuhi kebutuhan pragmatisnya, yaitu ilmu-ilmu sains (ulum)
selanjutnya disebut ilm fard kifayah.
Dalam perspektif al-Attas, fungsi dan
tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).
Prasyarat ilmu tersebut tidak hanya menyangkut jenis ilmu yang pertama saja,
tetapi juga mencakup jenis ilmu yang kedua. Lebih lanjut al-Attas berpendapat
bahwa jenis ilmu yang pertama menjadi pembimbing bagi ilmu yang kedua. Tanpa
seperti itu, maka ilmu yang dipelajarinya akan membingungkan, mengelirukan, dan
menjerat manusia kepada pencarian tanpa akhir dan tujuan.
Oleh karenanya berangkat dari Paradigma
berfikir tentang manusia, sistem dan kurikulum pendidikan kemudian dirumuskan
untuk mencapai tujuan. Al-Attas mendefinisikan bahwa pendidikan secara umum
yaitu “a process of instilling something into human being”[28]
(proses menanamkan sesuatu kepada manusia). Dari sini, dapat disimpulkan ada
tiga elemen penting dalam pendidikan, yaitu proses, isi, dan penerima. Dari
definisi umum ini Al-Attas kemudian mendefinisikan pendidikan dalam pandangan
Islam. Al-Attas lalu menyimpulkan bahwa pendidikan adalah
Recognition and acknowledgement,
progressively instilled into man, of the proper places of things in order of
creation, such that it lead to the recognition and acknowledgement of the
proper place of god in the order of being and existence.[29]
a.
Gagasan
ta’dib al-Attas: Upaya Islamisasi Pendidikan
Dalam bahasa Arab, terdapat tiga terminologi
populer yang merujuk kepada konsep pendidikan, yakni Ta’lim, Tarbiyah
dan Ta’dib. al-Attas memberikan pengertian kritis tentang penggunaan
ketiga istilah tersebut. Istilah Tarbiyah, menurutnya menggambarkan
pendidikan Islam yang terlalu dipaksakan. Pengertian yang terkandung di dalam
istilah tersebut tidak mewakili hakikat dan proses pendidikan Islam secara
penuh. Karena itu, ia meyakini bahwa istilah tersebut tidak tepat digunakan
untuk mengartikan pendidikan Islam, atas dasar paling sedikit tiga argumen.[30]
Pertama, bahwa
dalam leksikon utama bahasa Arab, tidak ditemukan penggunaan istilah tarbiyah
yang dipahami dengan pengertian Pendidikan yang khusus bagi manusia sesuai
dengan perspektif Islam. Menurut beberapa sumber, sebagaimana yang dikutip
al-Attas, Ibnu Manzur mencatat bahwa akar kata dari istilah tarbiyah
adalah kata rabba ( ربى) dan rabaa
( ربا). Menurut
Asma’i istilah-istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya,
al-Jauhari menegaskan bahwa makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang
tumbuh, seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya. Penerapan kata tarbiyah,
dengan demikian tidak terbatas pada manusia saja, melainkan meluas pada
species-species lain seperti tanaman dan hewan. Medan semantiknya yang luas ini
menyebabkan istilah tarbiyah tidak tepat untuk mengartikan pendidikan
yang dalam konsep Islam hanya berlaku untuk manusia. Dalam pernyataan al-Attas
itu disebutkan bahwa dengan istilah tarbiyah orang bisa mengacu kepada
peternakan hewan dan perkebunan. Padahal pendidikan dalam Islam adalah sesuatu
yang khusus untuk manusia.
Kedua, sebagaimana
yang digunakan dalam al-Qur’an, arti istilah tarbiyah tidak mencerminkan
faktor-faktor esensial pengetahuan dan intelektual yang pada dasarnya merupakan
komponen-komponen inti dalam pendidikan Islam yang sesungguhnya. Pengertian ini
memang tidak berjauhan dari pemakaiannya sebagaimana terdapat dalam Q.S.
Al-Isra’:24 berbunyi:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴿٢٤﴾
Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil". (Al-Isra’:24)
al-Attas mengartikan kata tarbiyah
tersebut dengan “membesarkanku”, sehingga ayat tersebut diartikannya: Apabila
dianjurkan oleh Allah untuk menurunkan syap kerendahan hati karena kasih sayang
kepada orang tua kita dan berdoa. “Tuhanku! Ampunilah mereka sebagaimana mereka
telah membesarkanku diwaktu kecil”.[31]
al-Attas juga menyimpulkan bahwa tarbiyah merupakan usaha membawa anak
kepada kondisi yang lebih baik atas dasar rahmat atau kasih sayang dan
pemberian yang tidak melibatkan pengetahun dan intelektual. Dua yang terakhir
ini menurutnya merupakan inti dari proses pendidikan.
Ketiga, kalaupun
istilah tarbiyah bisa diberikan pengertian yang berkaitan dengan
pengetahuan, maka konotasinya cenderung kepada pemilikan pengetahuan bukan
kepada proses penanamannya. Bagi al-Attas inti dari proses pendidikan yang
sebenarnya adalah “proses penanaman”, bukan kepada pemilikannya.[32]
al-Attas secara jelas mengemukakan
ketidaksetujuannya atas penggunaan istilah tarbiyah untuk menunjuk
pendidikan Islam seperti apa yang diutarakannya:
Tarbiyah
dalam konotasinya yang sekarang menurut pendapat saya merupakan istilah yang
relatif baru yang bisa dikatakan telah dibuat-buat oleh orang-orang yang
mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan
untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifatnya yang
sebenarnya…. Mereka yang membuat-buat istilah tarbiyah untuk maksud
pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan.
Mengingat istilah tarbiyah adalah suatu terjemahan yang jelas dari
istilah education menurut artian Barat.[33]
Sebaliknya, beberapa argumentasi
Al-Attas ketika memilih ta’dib sebagai definisi bagi pendidikan Islam yaitu:[34]
a.
Menurut
tradisi ilmiah bahasa Arab, istilah ta’dib mengandung tiga unsur yaitu
pembangunan iman, ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus
berdasarkan ilmu. Sebaliknya, ilmu harus dilandasi dengan iman. Dengan begitu
iman dan ilmu dimanifestasikan dalam bentuk amal.
b.
Dalam hadits
Nabi SAW secara eksplisit digunakan istilah ta’dib dari kata addaba
yang berarti mendidik (ادبني ربي فأحسن تأديبي). Cara
Tuhan mendidik Nabi, tentu saja mengandung konsep pendidikan yang sempurna.
c.
Dalam
kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti ilmu, pengajaran dan
pengasuhan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau pemilikan terhadap
obyek atau peserta didik, disamping tidak pula menimbulkan interpretasi
mendidik makhluk selain manusia. Karena menurut konsep Islam yang bisa dan
bahkan harus dididik adalah manusia.
d.
Pendidikan
dalam Islam sangat menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan santun,
adab dan semacamnya atau secara tegas akhlak terpuji yang hanya terdapat dalam
istilah ta’dib.
Dalam kata ta’dib ini setidaknya
memiliki empat macam arti, yaitu education, pendidikan; discipline,
ketertiban; chastisement, hukuman; dan disciplinary punishment,
hukuman demi ketertiban. Nampaknya, kata ini lebih mengarah kepada perbaikan
tingkah laku. Meskipun arti lafaz ta’dib
begitu tinggi nilainya. Barangkali asumsi Al Quran tidak menyebut kata ta’dib dengan alasan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam kata ta’dib sudah tercakup dalam kata yang menunjukkan
arti pendidikan yaitu tarbiyah dan ta’lim. Asumsi yang lain yang
mendukungnya bahwa ciri khas kitab suci Alquran selalu bersifat global sehingga
aturannya hanya berkenaan dengan masalah pokok. Dengan demikian maka penggunaan
ta’dib yang ternyata tidak hanya khusus untuk manusia seperti yang dinyatakan
oleh Al-Attas, seperti bisa dilihat dari hadits berikut
Tidak termasuk senda gurau kecuali
tiga hal: seseorang yang melatih (ta’dib) kudanya,
senda guraunya dengan istrinya, dan lemparannya dengan busurnya. (HR. Abu
Dawud)
Maka dalam hemat penulis, kata ta’dib
dalam hadits tersebut harus difahami bahwa ia tidak merujuk pada maknanya
secara hakikinya. Itu karena tidak akan mungkin kemudian setelah binatang
ternak tersebut dita’dib ia lantas menjadi binatang yang beradab. Hal
demikian juga jelas ditunjukkan dalam
maknanya yang lebih tinggi lagi, yaitu sepadan dengan akhlak. Adanya
nilai akhlak inilah yang kemudian tidak menjadikan tepat jika disematkan kepada
selain manusia(binatang). Bahkan lebih jauh lagi dapat dilihat bahwa semua nash
yang membicarakan akhlak akan selalu mengaitkannya dengan masalah keilmuan syar’i.
Keterpaduan antara ilmu dan adab yang menghasilkan akhlak ini juga muncul dalam
hadits yang dijadikan argumen penting al-Attas untuk merumuskan konsep
pendidikannya; “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan
pendidikanku yang terbaik”. Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab juga menyamakan
kata addaba dengan kata allama.
Adab
lalu disimpulkan oleh Al-Attas sebagai:
Recognition and
acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered
hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of
one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical,
intellectual, and spiritual capacities and potential. (Pengenalan dan pengakuan
akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan
berbagai tingkat dan derajatnya dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik,
intelektual dan spiritual.)[35]
Perumusan kembali makna pendidikan
Islam yang lebih tepat ini, yaitu dengan gagasan ta’dibnya tersebut
menurutnya mengikuti cara al Quran dalam merevolusi pemikiran jahiliyah arab.
Baginya, cara al Quran mengungkapkan bahasa arab adalah bentuk pembersihan
makna-maknanya dari pandangan yang telah menyelewengkan maksud sesungguhnya,
inilah bentuk islamisasi yang dilakukan oleh al Quran. Yaitu dengan memegang
langsung jantung permasalahannya (pada bahasanya). Tentang urgensi bahasa, al-Attas
berpendapat bahwa kesalahan semantik bukanlah sesuatu yang dapat dianggap
remeh. Kesalahan semantik dalam penerapan simbol-simbol linguistik akan
melahirkan kesalahan dalam penafsiran Islam itu sendiri dan pandangan-pandangan
dunianya (worldview). Lebih jauh lagi kesalahan semantik dalam memahami
konsep pendidikan dan proses pendidikan mengakibatkan kesalahan isi, maksud dan
tujuan pendidikan.[36]
b.
Manusia
Beradab (Insan Kamil) Sebagai Arah Pencapaian Pendidikan
Dengan kemampuan linguistiknya yang
sangat baik, al-Attas berhasil merumuskan kembali makna dan tujuan pendidikan
menurut Islam yang sebagaimana dahulu pernah diserukan oleh al-Ghazali pada
zamannya, dimana pada intinya, pendidikan Islam bermuara pada pencapaian
lahirnya manusia yang baik.[37]
Dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumiddin, Al Ghazali menulis satu bab
khusus mengenai adab belajar dan mengajar. Keutamaan adab dalam menuntut ilmu
juga bisa dilihat dalam konteks yang di dalammnya setiap murid harus yakin dan
percaya terlebih dahulu kepada gurunya sebelum belajar ilmu kepadanya, sebab
jika tidak proses pendidikan yang benar tidak bisa diteruskan. [38]
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran
pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha
menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal
tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, manusia universal (Al-Insan
Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
Pertama; manusia yang seimbang, memiliki
keterpaduan dua dimensi kepribadian; (a) dimensi isoterikvertikal yang intinya
tunduk dan patuh kepada Allah dan (b) dimensi eksoterik, dialektikal,
horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
Kedua; manusia seimbang dalam kualitas
pikir, zikir dan amalnya.[39] Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan
suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu
paradigma pendidikan yang terpadu.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya
paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek
moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif
(sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal
ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan
moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek
transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan
psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk.[40] Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam
tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang
supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya,
kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan
nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki
dan amal yang dilakukan. Dengan bahasa yang simple dapat dinyatakan bahwa pendidikan dalam perspektif al-Attas, sangat berorientasi pada
pembentukan moral spiritual, adab. Hal ini, tentu tidak serta-merta diungkapkan
tanpa landasan dasar yang mendukung pemikirannya.
D. Penutup
Melihat kiprah al-Attas yang begitu
lekat dengan dunia pendidikan menjadikan ia sebagai tokoh yang layak untuk
diberikan sambutan kegembiraan, khususnya bagi dunia pendidikan Islam. Ide
gagasannya, dapat dikatakan ide yang membuka mata lebar-lebar bahwa
permasalahan pendidikan yang menimpa umat Islam ternyata bukan masalah yang
sepele. Karena ia merupakan masalah yang sangat mendasar. Dengan pendidikan
yang bermasalah misalnya, seseorang akan bertambah jauh dari kebenaran yang
dikandung dalam ilmu. Oleh karenanya menemukan akar masalah yang menyebabkan
rusaknya pendidikan merupakan pekerjaan yang sangat penting sebelum
membenahinya. Dan al-Attas adalah orang yang telah melakukannya.
Setelah menemukan akar permasalahan dari
pendidikan, yang tidak lain yaitu bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan, baik
diperguruan tinggi, menengah maupun bawahnya telah di-westernisasi oleh barat,
maka al-Attas kemudian menawarkan solusinya. Al-Attas punya cara tersendiri
dibandingkan yang lain dalam mereaktualisasikan pandangannya demikian. Baginya,
sejarah al Quran merupakan contoh yang paling jelas dalam upaya melakukan
perubahan. Apa yang dilakukan oleh al Quran tersebut, itulah bentuk islamisasi.
Sebagaimana yang dilakukan al Quran,
al-Attas memulai langakahnya dengan pembaruan atau tajdid yang dalam arti memurnikan
dan mengembalikan sesuai bentuk asalnya (default) pada istilah-istilah
kunci. Hal ini menurutnya, bagian yang paling fundamental karena, dengan usaha
tersebut, bentuk-bentuk yang dapat mengaburkan gambaran yang diterima oleh akal
akan terjaga sehingga melindungi kemurniaan kandungan ilmunya. Dalam pemahaman
al-Attas, ilmu merupakan unsur jiwa, karenanya jiwa tidak perlu melakukan hal
yang sulit untuk menangkap ilmu. Apa yang diterima oleh jiwa tentang satu ilmu dimengerti
dengan apa yang ada dan yang ditunjukkannya. Selanjutnya Al-Attas menjelaskan
dua langkah islamisasi ilmu pengetahuan yang melibatkan dua proses yang saling berhubungan.
Pertama, pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, pemasukan elemen-elemen Islam dan
konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang
relevan.
Pada kenyataannya dalam sejarah, menurut
Al-Attas, ajaran Islam telah melakukan islamisasi terhadap bahasa Arab. Al Quran
telah mengislamkan pandangan dunia jahiliyah dengan cara menyusun dan membentuk
kembali struktur konsep, bidang-bidang semantik, dan perbendaharaan.
Kemampuan pada bidang pelacakan akar
terminologi memang menjadi satu kelebihan yang dimiliki al-Attas. Hal ini tidak
lepas dari pengaruh pengalaman kependidikan yang digelutinya. Melalui latar belakang
pendidikan sastranya, ia menemukan bahwa konsep islamisasi ilmu adalah
islamisasi bahasa dengan bahasa Arab sebagai alatnya. Dengan perhatiannya
terhadap sastra, khususnya sastra Melayu, Al-Attas bersentuhan dengan pemikiran
sufi Melayu. Pemikiran sufi menekankan adab dalam proses pembelajaran. Proses
pendidikan yang benar membutuhkan adab. Dan sebaliknya, ketidaan adab saat ini
merupakan penyebab bagi kemunduran umat Islam..
Referensi
Abuddin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012
Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media,
cet.I, 1992
Wan
Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Bandung: Mizan, 2003
Fazlur
Rahman, Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-Hikmah, No.
7, November-Desember 1997
Fitriyatul
Hanifiyah, Konsep At-Ta’dib dalam Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang: tidak diterbitkan, 2008, hlm 84
Ismail
SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Muhaimin, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar
Kurikulum, Solo: Ramadhani, 1991
Redaksi,
Naquib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji Masyarakat, No.
531, 21 Februari 1987
Saiful
Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib
al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Syed
Muhammad Naquib Al Attas, The Concept of Education in Islam, pengantar
pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam 1977
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2011
Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan,
1992
[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung:
Pimpin, 2011, hal.165
[2] Al-attas, Islam dan Sekularisme, hal.167-168. Al-Attas
mengidentifikasikan bahwa semangat penelitian ini pada dasarnya didorong oleh
keadaan ragu dan tekanan batin akibat dari konflik antara unsur-unsur dan
nilai-nilai yang saling bertentangan dalam cara pandang dualisme yang
dipertahankan. Lebih lanjut mengenai akar permasalahan mengapa barat terjatuh
dalam peliknya cara memandang kebenaran agama seperti ini dapat dibaca dalam
karya al-Attas ini dalam judul “Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini”.
[3] Al-attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal.54-55
[4] Fazlur Rahman, Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam
Al-Hikmah, No. 7, November-Desember 1997, hal.87
[5] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal.271
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, hal.117, lihat juga Ismail
SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal.271
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.45
[8] Ibid, hal.45
[9] Ibid, hal.46
[10] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012, hal.331
[11] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, ... ibid, hal.271
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ...,
ibid, hal.46
[13] ibid, hal.48
[14] ibid, hal.48
[15] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed
Muhammad Naquib al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991, hal.90
[16] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ...,
ibid, hal.49
[17] ibid, hal.49
[18] Redaksi, Naquib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji
Masyarakat, No. 531, 21 Februari 1987, hal.15
[19] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia,
Bandung: Mizan, 2006, hal.170 dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam
& Barat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hal.332
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ...,
ibid, hal.50
[21] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, ... ibid, hal.271
[22] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ...,
ibid, hal.50
[23] Bagian ini disadur dari karya Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan,
2003, hal.50-54
[24] Lihat karya Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.55-59
[25] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid,
hal. 130
[26] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.333-334
[27] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid,
hal.158
[28] Syed Muhammad Naquib Al Attas, The Concept of Education in Islam,
pengantar pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam 1977 hlm. 1
[29] Ibid hlm. 11
[30] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir,
Bandung: Mizan, 1992, hal.65-74
[31] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam...ibid,
hal.70
[32] ibid, hal.72
[33] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam...ibid,
hal.72
[34] Fitriyatul Hanifiyah, Konsep At-Ta’dib dalam Pemikiran Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang: tidak diterbitkan, 2008, hlm
84
[35] Ibid hlm. 17
[36] Fitriyatul Hanifiyah, Konsep Ta’dib hlm 89
[37] Al-Attas menyatakan dengan sangat tegas “Oleh karena itu, tujuan
pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik”. Lihat
karya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal.187
[38] Al Ghazali, Ihya Ulumiddin 1: Ilmu Dan Keyakinan, Jakarta:
Republika Penerbit, 2011 hlm 199-122
[40] Muhaimin, Konsepsi Pendidikan
Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo: Ramadhani, 1991, hal.72-73
The Casino at Borgata - DrmCD
BalasHapusEnjoy 포천 출장샵 all your favorite Borgata 사천 출장샵 dining options, including 밀양 출장안마 iconic favorites, classics and spas. Located right on the 경상남도 출장안마 casino floor, this new-look 안동 출장샵 Borgata