Sejarah dan Tokoh Pendidikan Islam



PEMIKIRAN PENDIDIKAN
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS


A.    Pendahuluan

Alasan yang dapat dikatakan sangat penting untuk dikemukakan, mengapa nama Syed Muhammad Naquib al-Attas ini begitu sentral dalam khazanah keilmuan pendidikan Islam kontemporer, adalah karena gagasannya yang sangat fundamental terkait dengan masalah islamisasi ilmu. Al-attas, atau biasa disebut SMN al-Attas adalah sosok  yang dikenal tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam saja, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia bahkan disebut sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh islamisasi lainnya, seperti Isma’il Raji al-Faruqi. Ia juga secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.
Setelah melalui perenungan yang cukup panjang, akhirnya, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan figur pembaru (person of reform) dalam bidang pendidikan Islam era ini, sampai pada satu kesimpulan bahwa kemunduran umat Islam saat ini adalah berpusat pada masalah pendidikan. Problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam tersebut tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah rusak (corruption of knowledge) karena disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporandakan oleh pandangan hidup sekuler (Barat).  Dengan sangat tegas, ia menyampaikan dalam bukunya, Islam dan Sekularisme:
Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil.[1]
Selanjutnya SMN al-Attas juga menjelaskan beberapa hal, sebagai contoh kekacauan yang terjadi akibat dari penyikapan yang salah terhadap ilmu. Di antaranya adalah penempatan tidak semestinya (dzulm) terhadap hal yang pasti kebenarannya (haq), dalam hal ini, otentisitas al Quran sebagai kalam Allah misalnya. Kebenaran agama yang asasi dipandang oleh Barat sebagai teori belaka, atau ditolak terus hanya sebagai bayangan yang tidak berguna. Akhirnya, nilai yang mutlak ditolak sedangkan nilai relatif mereka pegang teguh.
Menurut al-Attas, melalui pemukulrataan (generalisasi) “metodologi penelitian ilmiah” produk tawaran mereka (Barat Sekuler) – yakni doubt method atau metode keraguan yang digunakan sebagai sarana epistimologi untuk mencapai kebenaran – maka akan menghasilkan Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia. “Ilmu” yang diraih dari cara tersebut adalah ilmu yang telah kehilangan ruhnya (corrupt). Nilai (value) yang hendak ditanamkan agama pun tidak akan terbaca dengan jelas dan kabur karena memang Barat, yang dalam rumusan pandangan hidupnya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan bimbingan wahyu namun hanya berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar filosofis, dimana dasar ini berangkat dari dugaan (spekulasi), selalu beranggapan bahwa tidak ada yang pasti dalam semua hal kecuali kepastian bahwa semua itu tidak pasti. Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat seperti ini, terang al-Attas, adalah berangkat dari penghapusan keterpesonaan terhadap agama karena kecintaan yang berlebihan dan menyimpang kepada kehidupan dunia dan kehidupan sekuler.[2]
Sebagai solusi dari kekacauan terhadap ini semua maka al-Attas menawarkan konsep Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Berangkat dari paradigma bahwa ilmu itu tidak netral, al-Attas bermaksud menyadarkan bahwa diperlukan sikap kehati-hatian dalam proses penyerapan ilmu yang diterima dari peradaban Barat. Hal demikian jelas karena worldview (pandangan alam) yang dimiliki Barat – yakni worldview yang dibangun dan berkembang dari percampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai (keyakinan) antara Yunani dan Romawi, Kristen dan Yahudi – dalam pandangan al-Attas, memainkan peranan sangat besar dalam penafsiran dan perumusan ilmu. Oleh karenanya, Islamisasi ilmu yang dimaksud dalam perspektif al-Attas adalah pembebasan manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan kuasa sakti (magic), mitologi, animisme, kebangsaan kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan selanjutnya pembebasan dari kungkungan sekuler terhadap akal dan bahasa. Jadi, manusia Islam (muslim), dalam pandangan al-Attas adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kuasa sakti, mitologi, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekulerisme.[3]
Dalam  konferensi internasional pendidikan Islam pertama yang diadakan di Mekah pada tahun 1977 yang berhasil mengumpulkan para pakar Islam (cedekiawan muslim) sebanyak 313 dari penjuru dunia, Al-Attas melemparkan gagasan tentang islamisasi ilmu tersebut. Dari sanalah gagasan itu terus bergulir hingga saat ini. Oleh karenanya, melalui pemusatan perhatiannya pada permasalahan pengislaman atas ilmu dalam rangka meluruskan kembali proses pendidikan ini, al Attas dapat digolongkan ke dalam sosok pemikir pendidikan yang bercorakkan islami, artinya bahwa pendidikan yang dibangun olehnya mengacu dan mendasarkan pada asas Islam sebagai pijakan berfikir dan bertindak.
Al Attas memandang sebuah pendidikan sebagai bagian paling sentral dari dakwah Islam Nabi Muhammad. Hal demikian, menurutnya, karena Islam yang sebagaimana diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi tidaklah mungkin dapat dilaksanakan dengan baik tanpa memahami masalah pendidikan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, pengajaran Nabi Muhammad akan Islam berupa akhlak yang mulia, sebagaimana yang ditegaskan sendiri oleh beliau dalam salah satu haditsnya “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, merupakan inti dari pendidikan menurut Islam. Sehingga, seorang muslim yang sejati adalah ia yang ujungnya menjadi manusia berakhlak atau  juga dengan makna yang sama diungkapkan dengan istilah beradab. Yaitu memahami akhlak kepada penciptanya, Allah, Nabi dan risalah Islam yang sisampaikannya, termasuk dalam hal ini, memahami akhlak untuk memahami ajaran Islam itu sendiri serta berakhlak kepada manusia dan seluruh makhluk yang ada.

B.     Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

1.      Kelahiran dan Keluarganya
Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 September 1931 dimana pada waktu itu, Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Belanda. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raquan al-Aydarus. Melihat garis keturunannya, dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan ‘bibit unggul’ dalam percaturan perkembangan intelektual Islam di Indonesia dan Malaysia.
Dalam sejarah kerajaan Islam Nusantara atau Semenanjung Malaka, pada waktu itu merupakan suatu hal yang biasa jika seorang ulama besar dari Timur Tengah mempersunting anggota keluarga kerajaan, dan Naquib al-Attas adalah buah dari hasil pernikahan seperti itu. Latar belakang keluarga ini menunjukkan bahwa Naquib al-Attas memang bukan datang dari kelompok sosio-kultural biasa, akan tetapi dari kaum ningrat. Dalam dirinya mengalir tidak saja darah biru namun semangat dan emosi keagamaan yang luhur akan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam dunia tasawwuf.[4] Faktkor inhern keluarganya inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya.
Ditilik dari kedua belah pihak, baik ayah maupun ibunya, mereka merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunda Naquib al-Attas yang asli dari Bogor itu masih keturunan bangsawan (kerabat raja-raja) Sunda Sukapura Jawa Barat.[5] Sedangkan dari pihak sang ayah, beliau masih tergolong bangsawan di Johor, bahkan berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawwuf yang terkenal dari kalangan Sayyid.[6] Jika dilacak melalui silsilah “Sayyid” dalam keluarga Ba’dawi di Hadramaut, maka akan sampai kepada Imam Husein, cucu nabi Muhammad SAW. Ini didasarkan kepada silsilah resmi keluarga Naquib Al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya. Dimana dalam silsilah tersebut terlihat beliau adalah keturunan ke-37 dari Nabi Muhammad SAW.[7]
Di antara leluhurnya pun ada yang menjadi ulama besar bahkan dianggap wali. Salah seorang di antaranya adalah Syed Muhammad al-Aydarus (dari pihak ibu), guru dan mursyid Syed Muhammad Hafs ‘Umar bin Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nuruddin Ar Raniri, salah seorang ulama terkemuka di dunia Melayu, ke Tarekat Rifa’iyyah. Dari pihak ayah, kakek Naquib Al-Attas yang bernama Syed Abdullah Ibn Muhammad Al-Attas adalah juga seorang ulama, bahkan juga dianggap wali, yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga ke Negara Arab.[8]
Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara, yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan seorang dosen Institut Teknologi MARA.[9]
2.      Pertumbuhan Intelektualnya
Ketika berusia 5 tahun, Naquib al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di sini, Naquib al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School Johor sampai usia 10 tahun (1936-1941). Selama di Johor, ia tinggal bersama pamannya, Ahmad, kemudian dengan bibinya, Azizah. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Naquib al-Attas dan keluarga kembali pindah ke Indonesia. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama tahun 1942-1945, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Di tempat ini, Naquib al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena pada saat itu di Sukabumi telah berkembang perkumpulan Tareqat Naqsabandiyah.[10]
Setelah Perang Dunia II meletus pada tahun 1946, Naquib al-Attas kembali ke Johor untuk melanjutkan pendidikannya di Bukit Zahrah School dan selanjutnya di English College Johor pada tahun 1946-1951.[11] Pada masa ini, ia tinggal bersama salah seorang pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala Mentri Johor Modern yang keenam.[12] Di dalam lingkungan kaum ningrat ini, Naquib al-Attas mengenyam sistem pendidikan modern.
Setelah menamatkan sekolah menengah pada tahun 1951, Naquib mendaftar di sebuah resimen Melayu sebagai kadet. Kecemerlanganya dalam dunia militer ini membuat ia dipilih oleh Sir Gerald Templer, pejabat di British High Commissioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer di empat tempat, yaitu di (1) Eton Hall, (2) Chester, (3) Wales, kemudian di (3) Royal Millitary Academy, Sandhurst, Inggris pada 1952. Di Sandhurst ini jugalah, Naquib Al-Attas berkenalan untuk yang pertama kalinya dengan pandangan metafisika tasawwuf, terutama dari karya-karya Jami yang tersedia di perpustakaan kampus.[13]
Selain mengikuti pendidikan militernya di Inggris, Naquib Al-Attas juga sering pergi ke negara-negara Eropa lainnya seperti Spanyol dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat terkenal dengan tradisi intelektual, seni dan gaya bangunan keislamannya. Ketika Afrika Utara, Naquib Al-Attas sempat berjumpa dengan sejumlah pemimpin Maroko yang sedang berjuang merebut kembali kemerdekaan mereka dari tangan Perancis dan Spayol, seperti Alal al-Fasi, al-Mahdi Bennouna, dan Sidi Abdallah Gannoun al-Hasani.[14]
Setelah menyelesaikan studinya pada Royal Militery Academy Sandhurst Inggris tahun 1955, dengan pangkat terakhir sebagai Letnan,[15] Naquib Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Federasi Malaya yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan. Namun tidak lama di sini, minatnya yang dalam untuk menggeluti dunia ilmu pengetahuan mendorongnya untuk berhenti dari kepegawaiannya kemudian membawanya melanjutkan studi di Departemen Social Sciences Studies di Universitas Malaya (UM) Singapura selama 2 tahun, yakni pada tahun 1957-1959.[16]
Ketika masih mengambil program S-1 di Universitas Malaya ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah rangkaian Ruba’iyat. Sedang buku keduanya adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays” yang diterbitkan di Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Selama menulis buku yang kedua, demi memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, Al-Attas menjelajahi seluruh Malaysia dan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar bisa mengetahui ajaran dan praktik tasawwuf mereka.[17] Sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga pada 1959 pemerintah Kanada melalui Canada Council Fellowship, memberinya beasiswa. Al-Attas lalu belajar selama 3 tahun di Institut of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal Canada yang didirikan Wilfred Cantwel Smith. Di sini, dia berkenalan dengan beberapa tokoh intelektual yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlul Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr (Iran). Dalam waktu yang relatif singkat, terhitung sejak 1960 hingga 1962, ia berhasil menggondol gelar master (M.A) serta memperoleh nilai yang sangat memuaskan, cum laude dalam bidang teologi dan metafisika Islam, setelah mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh.[18]  Alasan mengapa mengambil judul tersebut adalah karena ia ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya Islam sendiri.[19]
Setahun kemudian atas dorongan beberapa sarjana dan tokoh-tokoh orientalis yang terkenal, Naquib Al-Attas pindah ke SAOS (School of Oriental and African Studies), Universitas London, untuk meneruskan pendidikan Doktornya. Pada 1965, dia memperoleh gelar Ph.D setelah dua jilid disertasi doktornya yang berjudul “The Mysticism of Hamzah Fanshuri” lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[20]
Tidak lama kemudian, pada tahun 1963-1964 melalui sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British Academy ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di School of Oriental and African Studies, University of London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis.[21]
Sebagai catatan penting bahwa selama menjadi mahasiswa, terutama di McGill dan di London, al-Attas sangat aktif dalam mengoreksi pandangan negatif yang ditujukan pada Islam. Selain itu, ia juga terlibat dalam kegiatan dakwah dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang murni. Atas rahmat dan petunjuk Allah swt, kegiatan dakwah ini berhasil menyadarkan beberapa orang sehingga mereka mau memeluk agama Islam.[22]
Setelah lulus pada 1965, Al-Attas kembali ke Malaysia. Beliau termasuk dari sedikit orang Malaysia yang memperoleh gelar Philoshophy of Doktor. Al-Attas dilantik menjadi ketua jurusan di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya Kuala Lumpur. Dari 1968 sampai 1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Selama menjabat di kampus tersebut, Al-Attas berusaha memperbaharui struktur akademis fakultas dan jurusan-jurusan lain yang sefakultas sehingga mereka tidak berjalan sendiri-sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dia juga yang berjasa dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Al-Attas berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris yang sebelumnya menjadi bahasa pengantar dan juga mempelopori Fakultas Ilmu dan Islam. Usaha tersebut dilakukan pada 1970 dalam kapasitasnya sebagai seorang pendiri senior UKM.
Pada tahun 1970 dan dalam kapasitasnya sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu, Al-Attas telah mengajukan konsep dan metode baru kajian bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu. Konsep dan metode tersebut dapat digunakan untuk mengkaji peranan dan pengaruh Islam serta hubungan dengan bahasa dan kebudayaan lokal dan internasional dengan cara yang lebih baik. Untuk merealisasikan rencana ini, pada tahun 1973 dia mendirikan dan mengepalai IBKKM (Institut Sastra, Bahasa dan Kebudayaan Melayu) di UKM.
Kepakaran Al-Attas dalam berbagai bidang ilmu sudah diakui di kalangan internasional. Al-Attas sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari pakar peradaban Islam dan Melayu misalnya Al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenahi Islam di Asia Tenggara pada Conggres International des Orientalistes yang ke 29 di Paris pada tahun 1973.
Pada 1975, ia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy (IIAP) atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat. IIAP adalah sebuah lembaga yang anggotanya terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal, seperti Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr dan Toshihiko Izutsu.
Diapun pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam International (World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun 1976, sekaligus menjadi pembicara dan utusan dalm Konferensi Islam Nasional (International Islamic Conference) yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
Al-Attas juga menjadi pembicara dan peserta aktif dalam Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam (First World Conference on Islamic Education) yang dilangsungkan di Mekkah pada tahun 1977. Dia ditunjuk memimpin komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam.
Dari 1976 sampai 1977, dia menjadi professor tamu (Visitting Professor) untuk studi Islam di Universitas Temple di Philadelpia. Pada 1978, dia diminta UNESCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah Islam yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah.
Tahun 1978, dia mendapatkan anugerah medali seratus tahun meninggalnya Sir Muhammad Iqbal dari Presiden Pakistan, Jenderal Muhammad Ziaul-Haq.
Dia pernah menjabat sebagai ketua lembaga Tun Abdur Rozak untuk studi Asia Tenggara (Tun Abdur Razak chair of South East Asian Studies) di Universitas Amerika, untuk periode 1980-1982. Al-Attas adalah pendiri sekaligus rektor ISTAC (International Institut of Islamic Though and Cavilization) Malaysia sejak tahun 1987.

a.      Buku dan Monograf

Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik bahasa Inggris maupun bahasa Melayu dan banyak yang diterjemahkan kedalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania. Karya-karyanya tersebut adalah:
1)      Rangkaian Rubi’iyah, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur, 1959.
2)      Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays, Malaysia Sociological Research Institute, Singapura 1963.
3)      Raniri and The Wujudiyyah of 17th Centure Acheh, Monograph of The Royal Asiatic Society, cabang Malaysia, No, III, Singapura, 1966.
4)      The Origin of The Malay Syair, DBP, Kuala Lumpur, 1968.
5)      Preliminary Statement One General Theory of The Islamization of The Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
6)      The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press, Kuala Lumpur 1970.
7)      Concluding Postcript to The Origin of The Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur 1971.
8)      The Correct Date of The Terengganu Inscription, Museums Departement, Kuala Lumpur, 1972.
9)      Islam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
10)  Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograf yang belum diterbitkan, 186 hlm., ditulis antara Februari-Maret 1973, (Buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001-penerja).
11)  Commenst on The Re-examination of Al-Raniri’s Hujjatun Al-Shiddiq: Arefitation, Musems Departemen, Kuala Lumpur, 1975.
12)  Islah The Concept Of Religion and The Foundation of Ethics and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia, (ABIM), Kuala Lumpur, 1976.
13)  Islam, Pahan Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur.
14)  Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
15)  Anas and The objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, London, 1979.
16)  The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
17)  A Commentary On The Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
18)  The Oldest Known Malay Manuscript A 16th Century Malay Translation of The A’qoid of Al-Nafasi, Dept. Penerbitan University Malaya, Kuala Lumpur, 1990.
19)  Islam and The Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989.
20)  The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993.
21)  Prolegomena to The Metaphysicsof Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Word View of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995.
22)  Historical Fact and Fiction, UTM, Kuala Lumpur, 2011

b.      Artikel

Selain buku dan monograf, Al-Attas juga menulis banyak sekali artikel. Adapun artikel-artikel yang ditulis Al-Attas adalah antara lain sebagai berikut:
1)      Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of The Malaya Branch of The Royal Asiatic Society (JMBRAS), VOL 38, Pt 1, Singapura, 1965.
2)      Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala Lumpur, 1996.
3)      New Light on The Life of Hamzah Fanshuri”, JBRAS, vol. 40, Pt, 1, Singapura, 1967.
4)      “Rampaian Sajak’, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu University Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
5)      “Hamzah Fanshuri”, The penguin Companion to Literature, Classikal and Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.
6)      Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, EJ. Briil, Leiden, 1971.
7)      Comperative philosopy: A Southeast Asian Islam View Point”, Acts of The Fee International Congres of medieva Philosophy, Madrid-Cordova-Granada, 5-2 September 1971.
8)      “Konsep Baru mengenai Rencana serta Caragaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastaraan, dan Kebudayaan Melayu”, buku panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur: 1972.
9)      The Art of Writing, Dept Museum”, Kuala lumpur, t.t. 10. “Perkembangan Tulisan Jari Sepintas Lalu’, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
10)  “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, dan Kesustraan Melayu”, Asas Kebudayaan Kebangsaan, Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973.
11)  Islam in Malaysia”, (versi bahasa jerman), kleines lexicon der Islamichen welt, ed. K. Kreiser awa. Akakolhlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974.
12)  “Islam in Malaysia’, Malaysia Panorama, edisi special, Kementrian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Perancis.
13)  “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, Seri Kedua, Kementrian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.
14)  “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA’, Zinal Abidin ibn Ahmad, Kementrian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
15)  A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago’, Profiles of Malay Culture, Historiography, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodiharjo, Menteri Pendidikan Kebudayaan Jakarta, 1976.
16)  Preliminary thoughts on The nature of Knowledge and Definition and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
17)  Some Reflections on The Philosophical aspect of Iqbal’s Thought”, International Congress on The Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977.
18)  The Concept of Education in Islam: it is Form, Method and Sistem of Implementat On”, World Symposium of al-Isro; Amman, 1979. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab.
19)  “ASEAN-Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”, Diskusi, jilid 4, no. 11-12, November-Desember, 1979.
20)  “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
21)  Knowledge and non-Knowledge”, Readings in Islam, no. 8, first quarter, Kuala Lumpur, 1980.
22)  “Islam dan Alam Melayu”, Budiman. Edisi special memperingati abad ke 15 hijriah, University Malaya, Desember 1979.
23)  The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980.
24)  Preliminary Thoughts on Islam Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab.
25)  Religion and Secularity”, Congress of The World’s Religions, new york, 1985.
26)  The Corruption of Knowledge”, Congress of The Word’s Religions, Istambul, 1985.
Dari karya-karya gemilang beliau menunjukkan akan kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu. Namun yang lebih menonjol terlihat dalam kefilsafatan yang beliau miliki, dimana dengan dalamnya pemahaman filsafatnya ini beliau mampu merumuskan pendidikan dengan mengkaitkan permasalahan kemunduran umat Islam dengan pendidikan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh islam.

C.    Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas

1.      Dasar Pemikiran Pendidikan
Al-Attas menilai bahwa dalam ilmu pengetahuan Barat modern-sekuler terkandung “virus” yang sangat berbahaya bagi kaum muslimin saat ini. Karena, dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Hal inilah yang kemudian oleh al-Attas dinyatakan sebagai penyebab  kekacauan ilmu (confussion of knowledge) dan ketiadaan adab dari masyarakat. Selanjutnya, akibat dari kedua hal tersebut adalah munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin umat, tetapi juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan kapasistas intelektual dan spiritual mencukupi, yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan Islam ketika mereka memimpin. Ketiga permasalahan ini –kekacauan ilmu, ketiadaan adab dan pemimpin berikutnya yang tidak kompeten – akan menjadi lingkaran setan yang tidak terputus.[25]
Selain telah salah memahami makna ilmu, peradaban Barat, dalam proyeksi al-Attas,  juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa peradaban Barat telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Kesimpulan Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam pendahuluan, Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan (doubt) dan dugaan (spekulasi) ke tahap metodologi ilmiah. Tidak hanya sampai disitu, Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai epistemologi yang sah dalam keilmuan. Akar dari ini semua adalah karena westernisasi ilmu tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama. Melainkan dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah (relative).
Sedikitnya ada lima faktor, menurut al-Attas, yang menjiwai tumbuh dan berkembangnya peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) besikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; dan (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[26]
Berangkat dari kerancuan ilmu dalam pandangan Barat itu, sehingga Al-Attas memulai langkah awal untuk melakukan islamisasi dengan merumuskan kembali konsep pendidikan dalam pandangan Islam, konsep yang dimaksud adalah ta’dib. Pendidikan dalam pandangan Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang yang disebut dengan ta’dib. Alasan yang dikemukakan oleh Al-Attas ketika memaknai pendidikan Islam dengan ta’dib karena konsistensi perhatiannya terhadap akurasi dan autentitas dalam memahami ide-ide dan konsep-konsep Islam. Menurutnya, disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam penggunaan istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib yang berbeda dari yang selama ini dipakai dan dipahami orang. Masih banyak yang menyangka jika tarbiyah, ta’lim dan ta’dib satu makna padahal beda.
Ta’lim menurutnya hanyalah pengajaran biasa yang tidak memerlukan aspek-aspek pendidikan, sedang tarbiyah lebih umum, dapat dipakai untuk mengasuh manusia sekaligus binatang, sedang ta’dib lebih sempurna, karena sudah mencakup pengajaran, pendidikan dan penanaman akhlak mulia dan lebih khusus untuk manusia. Dengan ta’dib manusia sempurna (al-insan al-kamil) dapat terwujud sebagaimana sifat-sifat dan tingkah laku yang ada pada diri Rasulullah melalui ta’dib dari Allah. Al-Attas mengatakan:
Kehilangan adab tidak hanya membawa maksud kehilangan ilmu; ia juga bermaksud kehilangan upaya dan kemampuan untuk mengenali dan mengakui para pemimpin yang sejati.[27]

2.      Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Memahami alur konsepsi al-Attas tentang pendidikan, terkait erat dengan pandangan-pandangan yang secara otomatis melandasi pemikiran pendidikannya. Secara proporsional al-Attas memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi, jasadiah dan ruhiyah. Menurut al-Attas, dalam penciptaannya, ruh telah menjadi sempurna namun ketika menyatu dengan raga/jasad, ia menjadi kolaborasi yang tidak lagi sempurna. Kata al insan, dari bentukan kata nisyan menjadi kata kunci bagi al-Attas dalam menjelaskan sifat dasarnya yang alpa. Menurutnya penyebutan manusia (al insan) bermula karena setelah diambil sumpahnya (QS. al A’raf: 177) ia lantas melupakannya. Dengan sifat dasarnya ini, manusia berpotensi untuk melakukan hal-hal seperti bodoh (jahl) tidak adil (dzulm), dan salah (khata’), bahkan ingkar (kufr).
Keadaan inilah yang kemudian menurut al-Attas perlu difahami sebagai pijakan berpikir mengenai hakikat mempelajari ilmu serta tujuan mendapatkannya bagi hidup manusia. Hal mana, kesimpulan yang didapatkan dari perenungan ini adalah, bahwa belajar ilmu (pendidikan) adalah satu upaya untuk mengembalikan keadaan manusia kepada keadaan sempurna (kamil).
al-Attas menegaskan bahwa ilmu semuanya datang dari Allah. Dan ilmu, dalam pandangan al-Attas merupakan satu sifat yang sangat penting bagi jiwa. Menurutnya, ilmu dapat diklasifikasikan seperti keadaan manusia yang dwi hakikat (jiwa & raga). Dengan demikian, ilmu juga memiliki dua hakikat, ilmu (hidangan) bagi jiwa, yaitu ilmu syar’i yang selanjutnya disebut ilm fard ‘ain, dan yang kedua ilmu (bekal) manusia memenuhi kebutuhan pragmatisnya, yaitu ilmu-ilmu sains (ulum) selanjutnya disebut ilm fard kifayah.
Dalam perspektif al-Attas, fungsi dan tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Prasyarat ilmu tersebut tidak hanya menyangkut jenis ilmu yang pertama saja, tetapi juga mencakup jenis ilmu yang kedua. Lebih lanjut al-Attas berpendapat bahwa jenis ilmu yang pertama menjadi pembimbing bagi ilmu yang kedua. Tanpa seperti itu, maka ilmu yang dipelajarinya akan membingungkan, mengelirukan, dan menjerat manusia kepada pencarian tanpa akhir dan tujuan.
Oleh karenanya berangkat dari Paradigma berfikir tentang manusia, sistem dan kurikulum pendidikan kemudian dirumuskan untuk mencapai tujuan. Al-Attas mendefinisikan bahwa pendidikan secara umum yaitu “a process of instilling something into human being[28] (proses menanamkan sesuatu kepada manusia). Dari sini, dapat disimpulkan ada tiga elemen penting dalam pendidikan, yaitu proses, isi, dan penerima. Dari definisi umum ini Al-Attas kemudian mendefinisikan pendidikan dalam pandangan Islam. Al-Attas lalu menyimpulkan bahwa pendidikan adalah
Recognition and acknowledgement, progressively instilled into man, of the proper places of things in order of creation, such that it lead to the recognition and acknowledgement of the proper place of god in the order of being and existence.[29]
a.      Gagasan ta’dib al-Attas: Upaya Islamisasi Pendidikan
Dalam bahasa Arab, terdapat tiga terminologi populer yang merujuk kepada konsep pendidikan, yakni Ta’lim, Tarbiyah dan Ta’dib. al-Attas memberikan pengertian kritis tentang penggunaan ketiga istilah tersebut. Istilah Tarbiyah, menurutnya menggambarkan pendidikan Islam yang terlalu dipaksakan. Pengertian yang terkandung di dalam istilah tersebut tidak mewakili hakikat dan proses pendidikan Islam secara penuh. Karena itu, ia meyakini bahwa istilah tersebut tidak tepat digunakan untuk mengartikan pendidikan Islam, atas dasar paling sedikit tiga argumen.[30]
Pertama, bahwa dalam leksikon utama bahasa Arab, tidak ditemukan penggunaan istilah tarbiyah yang dipahami dengan pengertian Pendidikan yang khusus bagi manusia sesuai dengan perspektif Islam. Menurut beberapa sumber, sebagaimana yang dikutip al-Attas, Ibnu Manzur mencatat bahwa akar kata dari istilah tarbiyah adalah kata rabba ( ربى) dan rabaa ( ربا). Menurut Asma’i istilah-istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari menegaskan bahwa makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya. Penerapan kata tarbiyah, dengan demikian tidak terbatas pada manusia saja, melainkan meluas pada species-species lain seperti tanaman dan hewan. Medan semantiknya yang luas ini menyebabkan istilah tarbiyah tidak tepat untuk mengartikan pendidikan yang dalam konsep Islam hanya berlaku untuk manusia. Dalam pernyataan al-Attas itu disebutkan bahwa dengan istilah tarbiyah orang bisa mengacu kepada peternakan hewan dan perkebunan. Padahal pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia.
Kedua, sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an, arti istilah tarbiyah tidak mencerminkan faktor-faktor esensial pengetahuan dan intelektual yang pada dasarnya merupakan komponen-komponen inti dalam pendidikan Islam yang sesungguhnya. Pengertian ini memang tidak berjauhan dari pemakaiannya sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Isra’:24 berbunyi:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴿٢٤﴾
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra’:24)
al-Attas mengartikan kata tarbiyah tersebut dengan “membesarkanku”, sehingga ayat tersebut diartikannya: Apabila dianjurkan oleh Allah untuk menurunkan syap kerendahan hati karena kasih sayang kepada orang tua kita dan berdoa. “Tuhanku! Ampunilah mereka sebagaimana mereka telah membesarkanku diwaktu kecil”.[31] al-Attas juga menyimpulkan bahwa tarbiyah merupakan usaha membawa anak kepada kondisi yang lebih baik atas dasar rahmat atau kasih sayang dan pemberian yang tidak melibatkan pengetahun dan intelektual. Dua yang terakhir ini menurutnya merupakan inti dari proses pendidikan.
Ketiga, kalaupun istilah tarbiyah bisa diberikan pengertian yang berkaitan dengan pengetahuan, maka konotasinya cenderung kepada pemilikan pengetahuan bukan kepada proses penanamannya. Bagi al-Attas inti dari proses pendidikan yang sebenarnya adalah “proses penanaman”, bukan kepada pemilikannya.[32]
al-Attas secara jelas mengemukakan ketidaksetujuannya atas penggunaan istilah tarbiyah untuk menunjuk pendidikan Islam seperti apa yang diutarakannya:
Tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang menurut pendapat saya merupakan istilah yang relatif baru yang bisa dikatakan telah dibuat-buat oleh orang-orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifatnya yang sebenarnya…. Mereka yang membuat-buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat istilah tarbiyah adalah suatu terjemahan yang jelas dari istilah education menurut artian Barat.[33]
Sebaliknya, beberapa argumentasi Al-Attas ketika memilih ta’dib sebagai definisi bagi pendidikan Islam yaitu:[34]
a.       Menurut tradisi ilmiah bahasa Arab, istilah ta’dib mengandung tiga unsur yaitu pembangunan iman, ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Sebaliknya, ilmu harus dilandasi dengan iman. Dengan begitu iman dan ilmu dimanifestasikan dalam bentuk amal.
b.      Dalam hadits Nabi SAW secara eksplisit digunakan istilah ta’dib dari kata addaba yang berarti mendidik  (ادبني ربي فأحسن تأديبي). Cara Tuhan mendidik Nabi, tentu saja mengandung konsep pendidikan yang sempurna.
c.       Dalam kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti ilmu, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau pemilikan terhadap obyek atau peserta didik, disamping tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik makhluk selain manusia. Karena menurut konsep Islam yang bisa dan bahkan harus dididik adalah manusia.
d.      Pendidikan dalam Islam sangat menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas akhlak terpuji yang hanya terdapat dalam istilah ta’dib.
Dalam kata ta’dib ini setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu education, pendidikan; discipline, ketertiban; chastisement, hukuman; dan disciplinary punishment, hukuman demi ketertiban. Nampaknya, kata ini lebih mengarah kepada perbaikan tingkah laku.  Meskipun arti lafaz ta’dib begitu tinggi nilainya. Barangkali asumsi Al Quran tidak menyebut kata ta’dib  dengan alasan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kata ta’dib sudah tercakup dalam kata yang menunjukkan arti pendidikan yaitu tarbiyah dan ta’lim. Asumsi yang lain yang mendukungnya bahwa ciri khas kitab suci Alquran selalu bersifat global sehingga aturannya hanya berkenaan dengan masalah pokok. Dengan demikian maka penggunaan ta’dib yang ternyata tidak hanya khusus untuk manusia seperti yang dinyatakan oleh Al-Attas, seperti bisa dilihat dari hadits berikut
Tidak termasuk senda gurau kecuali tiga hal: seseorang yang melatih (ta’dib) kudanya, senda guraunya dengan istrinya, dan lemparannya dengan busurnya. (HR. Abu Dawud)
Maka dalam hemat penulis, kata ta’dib dalam hadits tersebut harus difahami bahwa ia tidak merujuk pada maknanya secara hakikinya. Itu karena tidak akan mungkin kemudian setelah binatang ternak tersebut dita’dib ia lantas menjadi binatang yang beradab. Hal demikian juga jelas ditunjukkan dalam  maknanya yang lebih tinggi lagi, yaitu sepadan dengan akhlak. Adanya nilai akhlak inilah yang kemudian tidak menjadikan tepat jika disematkan kepada selain manusia(binatang). Bahkan lebih jauh lagi dapat dilihat bahwa semua nash yang membicarakan akhlak akan selalu mengaitkannya dengan masalah keilmuan syar’i. Keterpaduan antara ilmu dan adab yang menghasilkan akhlak ini juga muncul dalam hadits yang dijadikan argumen penting al-Attas untuk merumuskan konsep pendidikannya; “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”. Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab juga menyamakan kata addaba dengan kata allama.
Adab lalu disimpulkan oleh Al-Attas sebagai:
Recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potential. (Pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajatnya dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual.)[35]

Perumusan kembali makna pendidikan Islam yang lebih tepat ini, yaitu dengan gagasan ta’dibnya tersebut menurutnya mengikuti cara al Quran dalam merevolusi pemikiran jahiliyah arab. Baginya, cara al Quran mengungkapkan bahasa arab adalah bentuk pembersihan makna-maknanya dari pandangan yang telah menyelewengkan maksud sesungguhnya, inilah bentuk islamisasi yang dilakukan oleh al Quran. Yaitu dengan memegang langsung jantung permasalahannya (pada bahasanya). Tentang urgensi bahasa, al-Attas berpendapat bahwa kesalahan semantik bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh. Kesalahan semantik dalam penerapan simbol-simbol linguistik akan melahirkan kesalahan dalam penafsiran Islam itu sendiri dan pandangan-pandangan dunianya (worldview). Lebih jauh lagi kesalahan semantik dalam memahami konsep pendidikan dan proses pendidikan mengakibatkan kesalahan isi, maksud dan tujuan pendidikan.[36]
b.      Manusia Beradab (Insan Kamil) Sebagai Arah Pencapaian Pendidikan
Dengan kemampuan linguistiknya yang sangat baik, al-Attas berhasil merumuskan kembali makna dan tujuan pendidikan menurut Islam yang sebagaimana dahulu pernah diserukan oleh al-Ghazali pada zamannya, dimana pada intinya, pendidikan Islam bermuara pada pencapaian lahirnya manusia yang baik.[37] Dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumiddin, Al Ghazali menulis satu bab khusus mengenai adab belajar dan mengajar. Keutamaan adab dalam menuntut ilmu juga bisa dilihat dalam konteks yang di dalammnya setiap murid harus yakin dan percaya terlebih dahulu kepada gurunya sebelum belajar ilmu kepadanya, sebab jika tidak proses pendidikan yang benar tidak bisa diteruskan. [38]
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
Pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; (a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan (b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.[39] Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk.[40] Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan  mampu  menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan. Dengan bahasa yang simple dapat dinyatakan bahwa pendidikan dalam perspektif al-Attas, sangat berorientasi pada pembentukan moral spiritual, adab. Hal ini, tentu tidak serta-merta diungkapkan tanpa landasan dasar yang mendukung pemikirannya.

D.    Penutup

Melihat kiprah al-Attas yang begitu lekat dengan dunia pendidikan menjadikan ia sebagai tokoh yang layak untuk diberikan sambutan kegembiraan, khususnya bagi dunia pendidikan Islam. Ide gagasannya, dapat dikatakan ide yang membuka mata lebar-lebar bahwa permasalahan pendidikan yang menimpa umat Islam ternyata bukan masalah yang sepele. Karena ia merupakan masalah yang sangat mendasar. Dengan pendidikan yang bermasalah misalnya, seseorang akan bertambah jauh dari kebenaran yang dikandung dalam ilmu. Oleh karenanya menemukan akar masalah yang menyebabkan rusaknya pendidikan merupakan pekerjaan yang sangat penting sebelum membenahinya. Dan al-Attas adalah orang yang telah melakukannya.
Setelah menemukan akar permasalahan dari pendidikan, yang tidak lain yaitu bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan, baik diperguruan tinggi, menengah maupun bawahnya telah di-westernisasi oleh barat, maka al-Attas kemudian menawarkan solusinya. Al-Attas punya cara tersendiri dibandingkan yang lain dalam mereaktualisasikan pandangannya demikian. Baginya, sejarah al Quran merupakan contoh yang paling jelas dalam upaya melakukan perubahan. Apa yang dilakukan oleh al Quran tersebut, itulah bentuk islamisasi.
Sebagaimana yang dilakukan al Quran, al-Attas memulai langakahnya dengan pembaruan  atau tajdid yang dalam arti memurnikan dan mengembalikan sesuai bentuk asalnya (default) pada istilah-istilah kunci. Hal ini menurutnya, bagian yang paling fundamental karena, dengan usaha tersebut, bentuk-bentuk yang dapat mengaburkan gambaran yang diterima oleh akal akan terjaga sehingga melindungi kemurniaan kandungan ilmunya. Dalam pemahaman al-Attas, ilmu merupakan unsur jiwa, karenanya jiwa tidak perlu melakukan hal yang sulit untuk menangkap ilmu. Apa yang diterima oleh jiwa tentang satu ilmu dimengerti dengan apa yang ada dan yang ditunjukkannya. Selanjutnya Al-Attas menjelaskan dua langkah islamisasi ilmu pengetahuan yang melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama, pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Pada kenyataannya dalam sejarah, menurut Al-Attas, ajaran Islam telah melakukan islamisasi terhadap bahasa Arab. Al Quran telah mengislamkan pandangan dunia jahiliyah dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-bidang semantik, dan perbendaharaan.
Kemampuan pada bidang pelacakan akar terminologi memang menjadi satu kelebihan yang dimiliki al-Attas. Hal ini tidak lepas dari pengaruh pengalaman kependidikan yang digelutinya. Melalui latar belakang pendidikan sastranya, ia menemukan bahwa konsep islamisasi ilmu adalah islamisasi bahasa dengan bahasa Arab sebagai alatnya. Dengan perhatiannya terhadap sastra, khususnya sastra Melayu, Al-Attas bersentuhan dengan pemikiran sufi Melayu. Pemikiran sufi menekankan adab dalam proses pembelajaran. Proses pendidikan yang benar membutuhkan adab. Dan sebaliknya, ketidaan adab saat ini merupakan penyebab bagi kemunduran umat Islam..



Referensi
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012
Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, cet.I, 1992
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003
Fazlur Rahman, Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-Hikmah, No. 7, November-Desember 1997
Fitriyatul Hanifiyah, Konsep At-Ta’dib dalam Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang: tidak diterbitkan, 2008, hlm 84
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Muhaimin, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo: Ramadhani, 1991
Redaksi, Naquib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji Masyarakat, No. 531, 21 Februari 1987
Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Syed Muhammad Naquib Al Attas, The Concept of Education in Islam, pengantar pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam 1977
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2011
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1992


[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2011, hal.165
[2] Al-attas, Islam dan Sekularisme, hal.167-168. Al-Attas mengidentifikasikan bahwa semangat penelitian ini pada dasarnya didorong oleh keadaan ragu dan tekanan batin akibat dari konflik antara unsur-unsur dan nilai-nilai yang saling bertentangan dalam cara pandang dualisme yang dipertahankan. Lebih lanjut mengenai akar permasalahan mengapa barat terjatuh dalam peliknya cara memandang kebenaran agama seperti ini dapat dibaca dalam karya al-Attas ini dalam judul “Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini”.
[3] Al-attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal.54-55
[4] Fazlur Rahman, Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-Hikmah, No. 7, November-Desember 1997, hal.87
[5] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal.271
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, hal.117, lihat juga Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal.271
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.45
[8] Ibid, hal.45
[9] Ibid, hal.46
[10] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hal.331
[11] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, ... ibid, hal.271
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ..., ibid, hal.46
[13] ibid, hal.48
[14] ibid, hal.48
[15] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991, hal.90
[16] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ..., ibid, hal.49
[17] ibid, hal.49
[18] Redaksi, Naquib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji Masyarakat, No. 531, 21 Februari 1987, hal.15
[19] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2006, hal.170 dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hal.332
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ..., ibid, hal.50
[21] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, ... ibid, hal.271
[22] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ..., ibid, hal.50
[23] Bagian ini disadur dari karya Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.50-54
[24] Lihat karya Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.55-59
[25] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal. 130
[26] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, hal.333-334
[27] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal.158
[28] Syed Muhammad Naquib Al Attas, The Concept of Education in Islam, pengantar pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam 1977 hlm. 1
[29] Ibid hlm. 11
[30] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1992, hal.65-74
[31] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam...ibid, hal.70
[32] ibid, hal.72
[33] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam...ibid, hal.72
[34] Fitriyatul Hanifiyah, Konsep At-Ta’dib dalam Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang: tidak diterbitkan, 2008, hlm 84
[35] Ibid hlm. 17
[36] Fitriyatul Hanifiyah, Konsep Ta’dib hlm 89
[37] Al-Attas menyatakan dengan sangat tegas “Oleh karena itu, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik”. Lihat karya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ibid, hal.187
[38] Al Ghazali, Ihya Ulumiddin 1: Ilmu Dan Keyakinan, Jakarta: Republika Penerbit, 2011 hlm 199-122
[39] Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, cet.I, 1992, hal.130
[40] Muhaimin, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo: Ramadhani, 1991, hal.72-73

Komentar

  1. The Casino at Borgata - DrmCD
    Enjoy 포천 출장샵 all your favorite Borgata 사천 출장샵 dining options, including 밀양 출장안마 iconic favorites, classics and spas. Located right on the 경상남도 출장안마 casino floor, this new-look 안동 출장샵 Borgata

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemajuan Yang Dicapai Oleh Abbasiyah

Pembentukan Dinasti Abbasiyah

Pendidikan Akhlak