Pengukuhan Dinasti Abbasiyah dan Warna Islam Dalam Sistem Pemerintah Abbasiyah
Tidak dapat dipungkiri, keberhasihan yang dicapai oleh Bani Abbas tidak lepas dari jasa para propagandis yang memimpin pemberontakan demi pemberontakan diwilayahnya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh sangat kuat, oleh karenanya, setelah naik takhta, As Saffah tidak membiarkan adanya pemberontakan yang sama terjadi di masanya. Ia segera mengambil tindakan untuk segera melenyapkan orang-orang tersebut demi kemaslahatan pemerintahan. Dalam hal ini, Abu Salamah Al Khilali menjadi sasaran utamanya mengingat sikap ketidak setujuannya membaiat As Saffah sebagai khalifah sewaktu di Kuffah.[1] Hal yang samapun dilakukan oleh khalifah setelahnya, Al Manshur (137-158 H/ 753-774 M) yang telah membunuh Abu Muslim Al Khurasani karena dikhawatirkan nantinya akan merebut kekuasaannya, melenyapkan orang-orang yang menyimpang yaitu gerakan Ruwandiyyah[2] dan melenyapkan revolusi keluarga Ali yang dipimpin oleh Muhammad An-Nafs Az-Zakiyyah.[3] Nampaknya Abbasiyah telah banyak belajar dari pengalaman Umayyah, sehingga Abbasiyah tidak akan membiarkan kemungkinan-kemungkinan sekecil apapun yang dapat mengancam kekuasaannya.
Dapat dikatakan, orang yang pertama kali merencanakan penegakan khilafah Abbasiyah ada tiga: Muhammad Ibn Ali, Ibrahim Ibn Muhammad dan Abu Al Abbas As Saffah. Namun orang yang sebenarnya meletakkan dasar-dasar kepemerintahannya adalah Abu Ja’far Al Manshur. Dialah arsitek Daulah Abbasiyah. Jika khalifah pertama, Al Abbas, dalam masa pemerintahannya selama kurang lebih 4 tahun identik dengan pembasmian lawan-lawan politik dan gerakan-gerakan yang disinyalir dapat menjadi ancaman keamanan pemerintah, maka pada masa Al Manshur, kekhilafahan lebih berorientasi pada pembenahan sistem dan tatanan kepemerintahan.
Kondisi negara yang masih belum stabil[4] menjadi alasan utama bagi Khalifah Al Manshur untuk memindahkan ibu kota yang dahulu berada di Hasyimiyah di dekat Kuffah ke Baghdad. Baghdad dipilih khalifah karena ia dianggap tempat yang sangat strategis karena berada di tengah-tengah negara (Irak), sehingga memudahkan khalifah untuk dapat memantau situasi sekeliking negaranya dari tempatnya. Selain juga kota tersebut memiliki tanah yang subur dan udara yang lembut, secara geografis, Baghdad dilalui sungai Trigis dan sungai Euprath, sehingga Baghdad menjadi sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi Abbasiyah. Letak Baghdad juga jauh dari jangkauan musuh. Istana negara ia bangun di Kota Baghdad ini dengan sangat megah. Jalan-jalan diperbaiki, masjidil haram diperluas dan sarana-sarana yang lainnya. Kemudian Al Manshur mulai menyusun hukum-hukum dan undang-undang negara dengan pemikirannya yang diikat oleh syari’at al Qur-an. Ia juga membenahi tatanan birokrasi pemerintahan serta pertahanan negara dalam tubuh pasukan militer.
Dasar kekuasaan yang diterapkan adalah agama. Dalam masalah hukum, ia menganggap dirinya sebagai wakil kekuasaan Allah. Menurutnya khalifah adalah bayang-bayang Allah di bumi (zhillullahfil ardhi). Kekuasaannya bersifat absolut yang berlandaskan agama. Oleh karenanya tidak ada pembedaan antara rakyat, mereka disejajarkan dalam masalah hak. Paham yang dianut pun adalah paham madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sementara paham yang menyimpang dari ahlus sunnah, seperti zindik diperangi karena dianggap sebagai musuh pemerintah.
Pada masa selanjutnya, kekhilafahan diteruskan oleh putra mahkota bernama Abu Abd Allah Ibn Al Manshur yang bergelar Al Mahdi. Dalam kepemerintahannya, Al Mahdi tidak mengadakan perubahan yang banyak dari tatanan yang telah ditetapkan oleh Al Manshur, ayahnya. Setelah corak keras yang melekat pada sifat 2 khalifah sebelumnya, terutama kepada kelompok-kelompok penentang, Al Mahdi berusaha menghilangkan persepsi buruk dari rakyatnya. Dalam kepemimpinannya ia dikenal sebagai khalifah yang dermawan[5]. Pada masanya, Masjid Nabi dibangun dan diperindah serta sekolah-sekolah dan masjid-masjid di semua kota penting diperbesar. Jalan-jalan dan sarana-sarana penunjang ibadah Haji pun diperbaiki.[6] Kemakmuran rakyatnya sangat diperhatikan, terlebih kepada keturunan Nabi dan keluarga Ali. Bahkan kepada pemberontak, al mahdi tidak menerapkan hukum kepadanya sebagaimana ayahnya, ia membebaskan para napi yang dipenjarakan di masa ayahnya, bahkan ia mengembalikan hak-hak yang terampas darinya. Khalifah Al Mahdi menerapkan politik kasih sayang. Namun demikian hal yang menarik dari gaya kepemimpinannya adalah, Al Mahdi tidak memberi toleransi kepada orang-orang yang membawa kerusakan dalam agama, menghina dan menyebarkan pemikiran sesat, seperti yang dilakukan oleh kaum Zindik.
Demikianlah kekuasaan Islam telah menguasai pemerintahan di masa awal Abbasiyah dan menjadi pijakan dasar dinasti yang terus berkembang besar ini. Sehingga diktum yang ditulis seorang antologi, Al Tsa’labi (w.1038) bahwa dari Khalifah Abbasiyah, sang pembuka adalah Al Manshur, sang penengah adalah Al Ma’mun, dan sang penutup adalah Al Mu’tadhid (892-902) mendekati kebenaran. Setelah Al Watsiq, pemerintahan mulai turun hingga pada masa kekhalifahan Al Mu’tashim, khalifah ke 38, dinasti tersebut mengalami kehancuran di tangan orang-orang Mongol pada 1258. [1] Terdengar juga berita bahwa Abu Salamah pernah menghubungi keluarga Ali di madinah dan meminta mereka untuk mengambil khilafah tetapi mereka menolaknya. Yusuf Al Isy, dalam Tarikh Ashr Al Khilafah Al Abbasiyah. hlm. 25
[2] Ruandiyyah adalah sekte yang berkeyakinan bahwa Abu Ja’far Al Manshur adalah tuhan yang memberikan rizki, makanan dan minuman kepada mereka.
[3] Yusuf Al Isy, dalam Tarikh Ashr Al Khilafah Al Abbasiyah. hlm. 29-30
[4] Pendu duk Kuffah masih terdapat banyak pendukung Umayyah.
[5] Diantara kedermawanan Al Mahdi, pada awal kekhilafahannya ia membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh ayahnya, kecuali yang dipenjarakan karena kesalahan yang membahayakan. Dikatakan ia juga pernah memberikan hampir 30 juta dirham sebagai derma bagi orang Hijaz.
[6] Didin saefudin, zaman keemasan Islam. hlm.36
Komentar
Posting Komentar